Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan akademisi mendorong badan usaha milik negara (BUMN) bidang farmasi untuk mengambil peran lebih besar memutus ketergantungan Indonesia dari ratai bahan baku impor.
Leonny Yulita Hartiadi, Ketua Program Studi Sarjana Farmasi Indonesia International Institute for Life Science (I3L) menjelaskan pada saat virus Covid-19 masuk ke Indonesia, terjadi kelangkaan barang yang penting untuk pencegahan virus. Seperti hand sanitizer, alkohol, masker, alat pelindung diri, suplemen dan multivitamin.
Namun dengan seiring bertambahnya waktu, farmasi di Indonesia mulai beradaptasi terhadap tantangan-tantangan yang muncul akibat munculnya pandemi Covid-19.
“Pemerintah memberi kelonggaran dalam memberi izin impor bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan. Selain itu, izin perusahaan alat kesehatan juga dipercepat. Dukungan dari pemerintah ini berperan dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan dan alat medis di Indonesia” Leonny, Selasa (12/5/2020).
Payung hukum kemandirian bahan baku obat ini telah memiliki payung hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016. Dengan payung teknis ini maka produksi alat kesehatan guna penangangan Covid-19 baik dari industri bahan baku obat, farmasi, alat perlindungan diri (APD), masker dan industri ventilator dapat diproduksi sendiri di dalam negeri.
Pietradewi Hartrianti, Faculty Member dari Departement Farmasi Institute for Life Science (i3L), menjelaska bahwa pandemi yang masif memaksa kesigapan dalam segala hal termasuk ketersediaan obat-obatan.
Baca Juga
"Terkait dengan hal ini, tentunya tidak dapat terlepas dari ketahanan industri farmasi nasional yang merupakan salah satu pilar penting pembangunan kesehatan nasional," ujarnya.
Kondisi Indonesia yang masih tergantung impor bahan baku farmasi dari China dan India membuat Indonesia memiliki posisi lemah terhadap importir.
Pietradewi mengingatkan Indonesia memiliki badan usaha milik negara (BUMN) yang telah memulai menjadi produsen bahan baku. Misalnya PT Kimia Farma (Persero) Tbk melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) telah memproduksi bahan baku meskipun masih dalam skala relatif kecil.
“Fasilitas itu hanya terbatas pada delapan bahan baku obat, tetapi bahan baku obat tersebut tidak berhubungan dengan penangggulangan atau terapi Covid-19,” ujarnya.
Pietradewi menjelaskan belum ada langkah antisipasi yang dapat dilaksanakan apabila produk bahan baku tersebut terhenti. Selain itu, penggantian bahan baku memerlukan proses pelaporan registrasi ulang kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga sulit untuk mengganti produsen bahan baku obat.
“Biasanya industri farmasi memiliki beberapa supplier bahan baku dari negara berbeda yang disertakan bersamaan pada saat registrasi, akan tetapi apabila jalur masuk produk impor ditutup, maka produksi obat akan terancam,” katanya.
Dia menambahkan, BUMN lain yakni PT Bio Farma (Persero) memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Tetapi bahan baku untuk memproduksi vaksin juga masih ada yang bergantung pada bahan baku impor.
“Permasalahan bukan hanya pada kapasitas Indonesia untuk memproduksi bahan baku farmasi, akan tetapi kapasitas pengadaan bahan baku kimia atau biologis untuk proses sintesis dan juga purifikasi pada saat produksi bahan baku yang masih banyak yang bergantung pada impor,” pungkasnya.