Perpecahan yang Tidak Mengejutkan
Seperti halnya dalam hubungan interpersonal, saling ketergantungan berbasis geopolitik dapat menyebabkan konflik, terutama jika satu pihak mulai berjalan dengan caranya sendiri.
China, misalnya, sejak satu dekade terakhir banyak berubah. Negara itu mulai menemukan keseimbangan baru dengan beralih dari mengandalkan ekspor dan investasi ke pertumbuhan yang didorong oleh belanja konsumen.
Dari manufaktur ke jasa, dari penghematan simpanan menjadi menumpuk simpanan, dan dari impor ke inovasi asli. Kondisi ini jelas menempatkan China pada jalur yang sangat berbeda.
Kondisi tersebut juga menjadi perkembangan yang semakin tidak nyaman bagi AS yang bergantung pada China. Amerika Serikat merasa tertampar dan dipermalukan, sehingga sekarang membuka celah konflik.
Dengan demikian, konsekuensi pecahnya AS-China jauh melampaui aspek ekonomi. Perubahan yang menentukan dalam keseimbangan kekuatan global, yang mengantarkan pada perang dingin baru, bisa jadi lebih dekat dari perkiraan.
Di bawah pemerintahan AS yang mengusung semangat "America First", Presiden Donald Trump telah berbalik arah. Dia menumpahkan cemoohannya pada sekutu yang pernah loyal dan menarik dukungan terhadap lembaga-lembaga multilateral utama, termasuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Di tengah pandemi Covid-19, Trump juga menyerang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di samping menganut pola perdagangan proteksionisme.
Sementara, China memanfaatkan kekosongan itu melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan, Bank Investasi Infrastruktur Asia, dan fasilitas pengangkutan udara pasokan medis ke negara-negara yang dilanda pandemi di Eropa dan di tempat lain. Sedangkan AS tidak berbuat banyak.