Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah pusat jangan hanya meminta pemerintah daerah menuntaskan pandemi Covid-19 sendirian. Beban tanggung jawab perlu diambil, salah satunya dengan memperketat penggunaan Kereta Rel Listrik (KRL), bahkan bila perlu menyetop total operasinya.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menyikapi adanya tiga orang penumpang KRL yang dinyatakan positif Covid-19.
Seperti diketahui, sebelumnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam akun media sosial resminya, Minggu (3/5/2020) mengungkapkan adanya tiga orang yang positif Covid-19 dari hasil tes PCR terhadap 325 orang penumpang KRL Stasiun Bogor.
Pria yang akrab disapa Kang Emil ini pun menyoroti masih padatnya pengguna KRL, di tengah status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah Jabodetabek, sehingga menghendaki jalan keluar dari Gugus Tugas Covid-19 nasional dan Kementerian Perhubungan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan bahwa masih beroperasinya KRL merupakan salah satu bukti cacat regulasi PSBB, karena jelas-jelas berpotensi besar menularkan Covid-19.
"Jika KRL tak dilarang, maka PSBB menjadi tidak efektif, bahkan potensi penularannya makin luas. Maka seharusnya KRL itu setop operasi dalam masa PSBB, minimal selama 2 minggu, karena tidak ada di dunia manapun dalam masa lockdown angkutan massal seperti KRL boleh beroperasi," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (4/5/2020).
Baca Juga
Menyaring Penumpang
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menjelaskan bahwa pemerintah pusat harus ikut membereskan masalah kepadatan KRL ini, sebab akar masalah ada pada ego sektoral antarkementerian itu sendiri.
"Kita lihat awal-awal [PSBB] itu ada masalah soal Ojol. Sekarang soal operasional perusahaan yang harus setop selama PSBB, tapi dari Kementerian Perindustrian malah memperbolehkan. Jadi banyak perusahaan yang kembali bekerja. Ini berpengaruh ke kepadatan angkutan umum KRL," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (4/5/2020).
Namun demikian, Trubus lebih menekankan agar KRL jangan disetop, tapi operasinya benar-benar disaring atau hanya diperbolehkan untuk pelanggan tertentu.
Menurut Trubus, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta harus sejalan dan bekerja sama dalam menegakkan aturan operasional perusahaan selama PSBB.
Hal ini diungkap pula oleh VP Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia Anne Purba bahwa kerja sama dengan pemerintah daerah merupakan kunci.
"PT KCI juga sangat terbuka untuk bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota/Kabupaten terkait untuk menemukan solusi guna bersama-sama menyaring masyarakat yang akan naik KRL, sehingga physical distancing di KRL bisa tercapai lebih maksimal sementara PT KCI tetap dapat melayani masyarakat yang benar-benar memerlukan transportasi publik," ujarnya.
Anne mengungkap bahwa urusan pekerjaan, terutama jam kerja para pelanggan punya pengaruh besar. Misalnya, ketika awal PSBB digelar, kepadatan KRL kerap berada di jam berangkat kerja.
Namun kini, setelah memasuki bulan Ramadan, kepadatan pun terjadi menjelang waktu berbuka puasa, karena banyak pengguna pulang kerja yang berkonsentrasi mengejar jadwal KRL yang memungkinkan mereka berbuka di rumah.
"Diperlukan kepedulian masyarakat dalam menggunakan KRL. Jam masuk dan pulang kerja yang bersamaan memang jadi tantangan, namun kami mengajak para pengguna untuk tetap bersabar menunggu KRL yang kosong agar tetap menjaga physical distancing," ungkap Anne.
Cara Kreatif
Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengungkap bahwa aturan-aturan yang lebih kreatif diperlukan untuk mengatasi masalah KRL.
Menurut Pandu, aturan operasional perusahaan di Jakarta tidak bisa hanya begitu saja antara "buka" atau "tutup". Pemerintah harus punya strategi mengakali para perusahaan yang masih beroperasi agar demand atau permintaan layanan angkutan.
Misalnya, membagi segmen-segmen perusahaan yang padat agar tak masuk dan pulang kerja secara bersamaan atau meminta perusahaan menerapkan ganjil-genap sesuai dengan hari lahir atau ID KTP untuk para pekerja.
"Jadi pengawasannya bisa jelas. Penjaga di depan stasiun atau halte jadi punya mekanisme mengecek para pelanggan. Apa ada yang bohong, misal ternyata tidak masuk kerja jam pada jam itu. Kalau ganjil-genap bisa dicek yang boleh masuk stasiun pekerja yang lahir di hari ganjil. Jadi pembatasan memang butuh kecerdasan, akal, taktik, strategi," ungkapnya.