Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi berharap Mahkamah Agung (MA) menerbitkan standar pedoman pemidanaan perkara korupsi.
Plt. Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri saat dikonfirmasi terkait dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut hukuman terhadap para koruptor masih rendah, mengatakan pedoman pemidanaan yang diterbitkan MA dapat menjadi dasar bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara korupsi.
Berdasarkan temuan ICW pada 2019, rata-rata vonis untuk koruptor hanya selama 2 tahun 7 bulan pidana penjara. Selain itu, temuan ICW juga menyebutkan masih ada disparitas vonis terhadap terdakwa korupsi.
Misalnya, pelaku korupsi yang menyebabkan kerugian negara lebih sedikit justru dihukum lebih berat ketimbang pelaku yang kerugian keuangan negaranya lebih banyak.
"KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedomaan pemidanaan sebagai standar Majelis Hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi," ujar Ali saat dikonfirmasi, Senin (20/4/2020).
Selain vonis, ICW juga mememaparkan soal rendahnya tuntutan kepada terdakwa. Saat Kejaksaan berposisi sebagai Penuntut, rata-rata terdakwa korupsi dituntut hukuman 3 tahun 4 bulan penjara, sedangkan tuntutan penuntut KPK rata-rata selama 5 tahun 2 bulan.
Baca Juga
Secara terperinci, ICW menyebutkan, dari total 911 terdakwa sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat. Sementara itu, KPK menuntut 197 terdakwa dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.
Selebihnya, untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara dan perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara.
Tak hanya itu, pemulihan kerugian keuangan negara akibat korupsi juga maskh belum optimal. Dari sekitar Rp12 triliun kerugian negara akibat korupsi, putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp748,16 miliar.
Terkait dengan hal itu, Ali mengatakan pihaknya menghargai catatan dan rekomendasi ICW soal putusan yang dijatuhkan dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut.
Ali memastikan, KPK saat ini memprioritaskan penanganan kasus yang dibangun dari proses penyelidikan terbuka atau case building, terutama untuk kasus-kasus yang berdampak signifikan pada perekonomian nasional.
Dia mengatakan KPK juga bakal menggabungkannya dengan pasal pencucian uang untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara. "Strategi penanganan perkara gabungan pasal tindak pidana korupsi dan TPPU yang didukung dengan satgas asset tracing sebagai upaya memaksimalkan asset recovery dan pengembalian kerugian negara," katanya.
Ali juga menjelaskan terkait dengan tugas dan fungsi Penuntutan, KPK saat ini masih dalam proses finalisasi penyusunan pedoman penuntutan. Dengan pedoman ini, setidaknya akan mengurangi disparitas tuntutan pidana khususnya terhadap pidana badan.
"Pedoman tuntutan tersebut dibuat untuk seluruh kategori tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal yang memuat pemidanaan pada UU Tipikor dan TPPU dengan penekanan pada faktor-faktor yang lebih objektif di dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman," paparnya.