Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 rawan disalahgunakan, karena Pasal 27 dalam beleid tersebut memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah dalam mengatur keuangan negara untuk penanganan pandemi virus Corona (Covid-19).
Guru besar Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa setiap kebijakan pemerintah sudah sepatutnya dapat dipertanggungjawabkan. Namun, yang perlu diatur adalah mekanisme pertanggungjawabannya.
“Hemat saya penting tindakan hukum itu tetap dilakukan, tapi mekanismenya hukum arbitrase baru hukum pidana,” katanya saat dihubungi Bisnis, Jumat (17/4/2020).
Hukum aribitrase merupakan jalur non-yudisial, artinya penyelesaian tidak melalui peradilan umum. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, hukum arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Namun, bila ditemukan bukti konkret pejabat yang memperkaya diri sendiri atau bahkah tertangkap tangan korupsi, hukum pidana mutlak diberlakukan.
“Yang penting mekanisme pertanggungjawaban harus ada,” ujarnya.
Hukum pidana sendiri, kata Asep, menjadi sebuah ultimum remedium. Ini merupakan senjata terakhir apabila sangat diperlukan untuk mempertanggungjawabkan kebijakan yang dalam hukum arbitrase dapat dibuktikan sebagai tindakan yang memperkaya diri sendiri.
Oleh karena itu, pakar hukum tata negara ini pun tidak heran jika ada permohonan uji materi terhadap Perppu No.1/2020 mengalir ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kondisi genting seperti saat ini, negara membutuhkan sebuah payung hukum untuk mengelola secara cepat keuangan. Akan tetapi hak-hak seluruh masyarakat yang juga menjadi bagian dari pendapatan negara juga harus diperhatikan.
“Gugatan ke MK saat ini itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa dalam kebijakan yang tidak cermat, tidak hati-hati, tidak mendapatkan kajian dan pendapat ahli, tidak transparan, itu bisa selamat atau terlindungi dengan pasal itu,” katanya.
Adapun Pasal 27 ayat 1 Perppu 1/2020 berbunyi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lain yang terkait dengan pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata dalam melaksanakan tugas.
Ayat kedua pasal yang sama menjelaskan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat dua permohonan uji materi Perppu 1/2020 dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan sejumlah tokoh, seperti Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan lainnya.
Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan saat MK tengah menyiapkan persidangan dalam jaringan atau online dan juga secara langsung dengan memerhatikan protokol kesehatan.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah DKI Jakarta telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak 10 April 2020 hingga 14 hari setelahnya. Kebijakan ini tengah dikaji untuk kemudian diperpanjang mengingat penyebaran virus di ibu kota masih terjadi.
MK telah menutup akses publik sejak 17 Maret hingga 21 April. Aktivitas internal MK tetap berjalan dengan menerapkan bekerja dari rumah.