Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Skenario Terburuk Bank Dunia, Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Bisa Anjlok 0,5 Persen

Tanpa China, ekonomi Asia Timur dan Pasifik bahkan bisa turun lebih dalam hingga 1,3 persen - minus 2,9 persen.
Presiden Bank Dunia David Malpass berbicara dalam sebuah konferensi pers dalam Spring Meetings of the World Bank Group and IMF di Washington, AS, Kamis (11/4/2019)./Reuters-James Lawler Duggan
Presiden Bank Dunia David Malpass berbicara dalam sebuah konferensi pers dalam Spring Meetings of the World Bank Group and IMF di Washington, AS, Kamis (11/4/2019)./Reuters-James Lawler Duggan

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Dunia memprediksi ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik (East Asia and the Pacific/EAP), melambat 2,1 persen pada 2020 dalam skenario baseline.

Adapun kemungkinan terburuknya, ekonomi di kawasan ini bisa menyentuh resesi di angka minus 0,5 persen. Pada 2019, Bank Dunia diketahui memprediksi ekonomi EAP akan tumbuh setidaknya 5,8 persen.

"Pertumbuhan di China diproyeksikan menurun menjadi 2,3 persen di baseline, dan 0,1 persen dalam skenario terburuk pada 2020, dari 6,1 persen pada 2019," tulis Bank Dunia dalam laporan terbarunya, Selasa (31/3/2020).

Negara-negara berkembang di kawasan EAP telah berada dalam tekanan perdagangan internasional dan wabah virus corona. Kini menghadapi situasi yang lebih sulit ketika pandemi memukul telak pemain utama ekonomi dunia.

Sementara itu, pertumbuhan EAP jika tidak termasuk China, diproyeksikan melambat dari 4,7 persen pada 2019 menjadi 1,3 persen dalam skenario baseline dan minus 2,9 dalam skenario paling buruk pada tahun 2020. Ekoonomi baru diprediksi akan pulih secara bertahap pada 2021 ketika dampak wabah sudah dapat diatasi.

China mengalami kontraksi tajam pada sektor manufaktur bulan lalu dengan angka purchasing managers’ index (PMI) 35,7. Namun Biro Statistik China hari ini merilis PMI Maret yang sudah berada di atas 50. Hal ini menandakan aktivitas ekonomi di China mulai bergeliat kendati masih menghadapi sepi permintaan global karena wabah.

Bank Dunia mengungkapkan pihaknya masih harus dilihat apakah pemerintah dapat mengaktifkan kegiatan ekonomi dengan segera setelah dihentikan secara mendadak. Banyak industri besar dilaporkan telah melanjutkan produksi, meskipun banyak perusahaan kecil dan menengah masih berjuang.

"Perkiraan tidak langsung, seperti indikator polusi, menunjukkan bahwa aktivitas meningkat secara bertahap di China," lanjutnya.

Selain itu, guncangan COVID-19 juga akan berdampak serius pada pengurangan kemiskinan di seluruh wilayah.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa di bawah skenario pertumbuhan dasar jika tidak ada pandemi, 24 juta orang lebih sedikit akan keluar dari kemiskinan di seluruh EAP pada 2020. Namun, jika situasi ekonomi semakin memburuk, maka kemiskinan diperkirakan meningkat sekitar 11 juta orang.

Proyeksi sebelumnya memperkirakan bahwa 35 juta orang akan keluar dari kemiskinan di wilayah ini pada 2020, termasuk lebih dari 25 juta di China saja. Rumah tangga yang terkait dengan sektor ekonomi yang terkena dampak COVID-19 akan menghadapi risiko lebih tinggi untuk jatuh ke dalam kemiskinan, setidaknya dalam jangka pendek.

Sektor-sektor ini termasuk pariwisata dan ritel di Thailand, dan manufaktur dan tekstil di Vietnam. Pekerja informal di semua negara kemungkinan besar akan terdampak.

Selain itu, sistem keuangan di seluruh wilayah tetap rentan terhadap guncangan eksternal, terutama di negara-negara dengan utang sektor swasta yang tinggi.

Tingkat kenaikan utang China, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (EAP-5) jauh lebih cepat daripada tingkat kenaikan untuk seluruh dunia. Dengan demikian persentase EAP-5 dari total utang global meningkat dari 3,4 persen pada 2005 menjadi 18 persen pada 2019.

Semua negara di kawasan ini dengan tajam menurunkan prediksi pertumbuhan. Faktor spesifik seperti kekeringan di Thailand, dan guncangan komoditas di Malaysia dan Mongolia, juga membebani prospek.

"Di negara-negara Pulau Pasifik, prospek untuk tahun 2020 memiliki risiko besar karena ketergantungan ekonomi mereka pada hibah dan pariwisata," tulis Bank Dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper