Bisnis.com, JAKARTA - China memang sumber awal penularan Covid-19 pada Desember 2019, tapi negara ini sukses meredam penyebarannya memasuki Maret 2020.
Tercatat hingga Jumat (27/3/2020), berdasarkan data www.worldometer, total kasus Covid-19 di China ada 81.340 dengan total kematian 3.292.
Adapun dari kawasan Eropa, Italia menempati posisi pertama dengan 80.589 kasus dan kematian 8.215.
Kasus Covid-19 di Italia ini sempat melampaui China, dan tingkat kematiannya pun tinggi. Masifnya penularan Covid-19 membuat pemerintah Italia memberlakukan lockdown nasional sejak 9 Maret. Tampaknya, lockdown itu membuat kasus baru Covid-19 bisa diredam. Pada Jumat (27/3/2020), tidak ada penambahan kasus baru di Italia.
Setelah membuat ‘horor’ di China, Italia, kini vrius SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 membuat waswas warga Amerika Serikat (AS). Betapa tidak kasus corona di negara yang dipimpin Donald Trump itu ada 85.755 dengan jumlah pasien meninggal 1.304 orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan pada Selasa (24/3/2020), bahwa Amerika Serikat mungkin akan menjadi episentrum berikutnya.
Berdasarkan data John Hopkins University yang dikutip di Jakarta, Jumat (27/3/2020), kasus positif virus corona baru di AS telah mencapai 85.653 kasus atau melampaui kejadian di China sebanyak 81.782.
Perlengkapan rapid test virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19./Boomberg
Mengapa begitu tinggi kasus Covid-19 di AS?
Dr. Christopher Murray, Direktur Institute for Health Metrics and Evaluation di Universitas Washington yang memimpin penelitian kasus corona di AS menggunakan data dari pemerintah, rumah sakit dan sumber lain, menyimpulkan bahwa SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dapat membunuh lebih dari 81.000 orang dalam empat bulan ke depan dan mungkin tidak surut sampai Juni.
Adapun jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit diperkirakan akan memuncak secara nasional pada minggu kedua bulan April.
Beberapa orang bisa meninggal karena virus corona hingga Juli, meskipun kematian di bawah tingkat epidemi yaitu 10 kematian per hari paling lambat Juni, menurut analisis.Diprediksi bahwa jumlah kematian di AS, bisa sangat bervariasi, mulai dari yang terendah sekitar 38.000 hingga paling tinggi sekitar 162.000.
Analisis ini juga menyoroti tekanan di rumah sakit. Pada puncak epidemi, pasien yang sakit dapat melebihi jumlah tempat tidur rumah sakit yang tersedia sebanyak 64.000 dan memerlukan sekitar 20.000 ventilator.
Setidaknya satu rumah sakit di New York telah mulai menempatkan dua pasien pada mesin ventilator tunggal, sebuah protokol mode krisis eksperimental yang dikhawatirkan oleh beberapa dokter terlalu berisiko tetapi dinilai sejumlah pihak lain diperlukan saat wabah corona membuat sumber daya medis kewalahan.
Corona menyebabkan penyakit pernapasan yang pada kasus-kasus parah dapat merusak paru. Ventilator adalah alat bantu terakhir yang melibatkan memasukkan tabung ke tenggorokan pasien.
Craig Smith, kepala ahli bedah di New York-Presbyterian / Columbia University Medical Center di Manhattan, menulis dalam buletin kepada staf bahwa tim anestesiologi dan perawatan intensif telah bekerja "siang dan malam" untuk menjalankan percobaan ventilator yang digunakan bersama. Pada Rabu (25/3/2020), ia menulis, ada "dua pasien yang dirawat dengan hati-hati pada satu ventilator."
Trump Gagal
Profesor yang juga Direktur Center of Sustainable Development di Columbia University Jeffrey Sachs mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara China dan AS dalam penanganan kasus corona.
“China telah memutuskan rantai virus dengan adanya lockdown yang berawal di Wuhan pada 23 Januari, dan sekarang hanya bertambah beberapa lusin kasus setiap harinya,” tutur Sachs seperti dikutip dari artikel opininya di CNN, Jumat (27/3/2020).
Ini adalah krisis yang mengerikan dan kegagalan luar biasa Presiden Donald Trump. Orang Amerika menderita dan sekarat karena pemerintahan Trump gagal bertindak cepat dan tegas untuk mencegah penyebaran virus corona.
Trump memikul tanggung jawab langsung atas ketidaksiapan Amerika dan kegagalan respons terhadap epidemi.
“Sejak Trump berkuasa, ia secara sistematis membongkar sistem kesehatan masyarakat. Unit pandemi di Dewan Keamanan Nasional dibongkar pada tahun 2018 di bawah pengawasannya. Trump memangkas tim kontrol epidemi CDC di 39 negara, termasuk China. Dan ketika epidemi melanda, Trump mengabaikannya, mengecilkannya, dan membuat klaim palsu berulang,” ujarnya.
Presiden Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Cina Xi Jinping selama di sela-sela KTT G-20 di Osaka, Jepang, Sabtu, 29 Juni 2019./Bloomberg
China Ulurkan Bantuan
Kasus Covid-19 yang terus memuncak, ternyata membuat hubungan AS dan China membaik setelah terjadi ‘perang’ opini antara Beijing dan Washington soal corona.
Presiden China Xi Jinping mengatakan pada Donald Trump dalam percakapan melalui sambungan telepon, Jumat (27/3/2020), bahwa China bersedia untuk membantu AS dalam menghadapi virus corona.
Sebelumnya, Trump dan pejabat tinggi AS lainnya menuduh China kurang transparan terkait virus yang telah menewaskan lebih dari 24.000 orang secara global itu. Tuduhan tersebut membuat China marah.
Dalam sambungan telepon itu, Presiden Xi mengulangi pernyataannya kepada Trump bahwa China telah terbuka dan transparan tentang virus corona, yang telah menginfeksi lebih dari 80.000 orang di tersebut.
Xi menawarkan dukungan kepada Amerika Serikat, yang sekarang memiliki lebih banyak infeksi virus corona atau Covid-19 daripada China.
Trump mengatakan melalui cuitan di akun Twitternya bahwa ia membahas wabah virus corona "dengan sangat rinci" dengan Xi.