Bisnis.com, JAKARTA – Virus corona baru atau COVID-19 yang telah dinyatakan sebagai pandemi dunia memiliki beberapa kesamaan dengan kasus wabah influenza yang terjadi pada 1918, lebih dari 100 tahun yang lalu.
Para ahli telah memperingatkan bahwa pandemi global cenderung terjadi berulang sekitar 30 hingga 40 tahun sekali, akan tetapi selama bertahun-tahun dunia tetap tidak siap menghadapi wabah baru yang datang.
Faktanya, banyak orang mengatakan bahwa kondisi dunia saat ini mirip dengan kondisi wabah pada 1918 dengan toko dan sekolah di toko, menggunakan masker, mengkarantina orang dan melakukan social distancing.
“Apa yang kami lihat sekarang, dalam hal mencuci tangan atau tinggal di rumah ketika sakit, adalah tindakan yang hampir sama dengan yang direkomendasikan pada tahun 1918, kata Tom Ewing, profesor sejarah di Virginia Tech seperti dikutip Insider, Kamis (26/3).
Hal tersebut bukan satu-satunya kesamaan yang dilihat para sejarawan dari kasus pandemi COVID-19 pada 2020 dan wabah influenza 1918. Berikut ini adalah beberapa kemiripan antara kondisi sosial antara keduanya:
1 Orang menyebut wabah influenza 1918 sebagai flu Spanyol dan virus corona baru dikaitkan dengan China
Baca Juga
Wabah influenza yang terjadi pada 1918 pertama kali diketahui di Amerika Serikat dan kemudia menyebar ke Erpoa pada musim panas. Kendati begitu, wabah ini dikenal dengan nama Spanyol Influenza karena Madrid memiliki jumlah kasus yang besar.
Sejak saat itu Madrid melaporkan perkembangan wabah di negaranya yang terus naik. Oleh sebab itu, orang menganggap wabah influenza tersebut dimulai dari Spanyol dan dikenal sebagai flu Spanyol.
Demikian juga dengan virus corona baru yang telah dikaitkan erat dengan Wuhan, China sebagai tempat virus pertama kali muncul. Meskipun sejak saat itu menyebar secara global. Para ahli kesehatan publik menyatakan penyebutan istilah ‘virus China’ adalah hal yang keliru.
2. Penolakan terhadap penutupan sekolah
Pada saat wabah influenza 1918 menyerang, banyak sekolah yang memutuskan untuk menutup kegiatannya sementara. Akan tetapi, ada juga pihak yang menolak hal tersebut seperti yang dilakukan oleh New York dan Chicago.
Pikiran mereka adalah bahwa anak-anak akan lebih baik tinggal di gedung sekolah yang bersih dan memilii perawat yang bisa menjaga mereka ketika sakit. Hal serupa juga terjadi saat pandemi COVID-19 yang terjadi sekarang ini.
Beberapa lembaga di Amerika Serikat khawatir penutupan sekolah akan membuat anak-anak tidak memiliki akses ke makanan atau internet untuk mengikuti pelajaran yang dilakukan secara online, kendati virus ini telah dinyatakan sebagai pandemi global.
3. Penutupan institusi keagamaan membuat banyak orang marah
Penangguhan ibadah membuat marah banyak orang pada 1918 ketika terjadi wabah influenza yang menjangkiti banyak negara. Ketika itu, orang-orang merasa bahwa mereka membutuhkan penghiburan dan bimbingan spiritual.
Oleh sebab itu, pada masa wabah ada cukup banyak keluhan di surat kabar dari para pendeta setempat yang mengatakan bahwa pihak berwenang telah mengambil sumber penghiburan yang sangat penting ketika orang sedang sakit.
Hal demikian juga terjadi pada 2020, ketika beberapa orang mencerca gagasan untuk membatalkan pertemuan keagamaan. Keuskupan Roma mendorong gereja-gereja di Italia agar tetap terbuka. Muslim Syiah Iran tetap bergegas ke tempat suci yang telah ditutup karena virus corona.
4. Pekerja harian khawatir kehilangan penghasilan
Ketika jam-jam toko dibatasi di Baltimore, Amerika Serikat pada masa wabah influenza 1918 terjadi, para pekerja harian di toko eceran dan bahan makanan menjadi kesal. Mereka berargumen pembatasan dan penutupan ini telah menghilangkan sumber pendapatan.
Ketika itu, orang-orang pekerja harian berpikir bahwa tidak masuk akal melakukan pembatalan atau pembatasan karena menciptakan beban yang berkaitan dengan masalah keuangan dan kesehatan. Terlebih, ketika itu pembatasan terjadi pada musim gugur dan musim dingin.
Pada 2020, banyak pekerja yang juga menyuarakan keprihatinan serupa. Bagi para karyawan yang bekerja per jam, kondisi virus corona ini bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan yang berimbas pada kehilangan penghasilan.
Bahkan, di Amerika Serikat jutaan orang dengan pekerjaan tetap juga merasa khawatir kehilangan pekerjaan mereka karena pandemi COVID-19 yang terus menunjukkan peningkatan kasus. Sementara, pemerintah telah melakukan banyak pelarangan.
5. Keterbatasan tenaga medis
Pada 1918, gelombang kasus wabah influenza telah membanjiri sistem perawatan kesehatan Amerika Serikat. Ketika itu, dokter dan perawat tidak cukup. Di tambah dalam masa perang yang terjadi, staf medis yang ada sangat tidak memadai.
Begitu juga dengan tempat tidur bagi orang-orang yang sakit karena kasus influenza yang tidak cukup, sehingga sekolah dan bangunan lainnya diubah menjadi rumah sakit darurat.
Pada 2020, rumah sakit darurat dibangun dengan cepat di Wuhan, China. Empat lokasi gedung dijadikan rumah sakit di New York, Amerika Serikat. Angkatan Laut Amerika juga berencana mengerahkan dua kapal rumah sakitnya.
Hal ini juga terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia yang telah menjadikan Wisma Atlet sebagai rumah sakit darurat penanganan COVID-19. Tak hanya itu, masalah lain juga muncul terkait ketersediaan mesin ventilator yang menjadi alat vital bagi pasien virus corona.
6. Perkiraan wabah berlangsung yang terus berubah
Pada 1918, ada banyak perubahan dalam persepsi publik tentang keberlangsung wabah. Mereka awalnya mengira ini akan cepat berlalu, akan tetapi terjadi perubahan persepsi bahwa wabah akan berlangsung lama.
Awalnya, pihak berwenang memperingatkan untuk tidak panik dan mereka tidak berada dalam kondisi berbahaya. Akan tetapi, begitu jumlah kasus kematian yang terus meningkat, mereka dengan tegas ‘membunyikan alarm’ kesehatan.
Di Amerika Serikat, peringatan tentang COVID-19 juga mengikuti pola yang serupa. Pada Januari dan Februari, banyak pakar memberi tahu agar masyarakat tidak panik. Akan tetapi pada Maret, nada santai itu hilang dan para ahli bersireas memperingati masyarakat untuk tidak meninggalkan rumah dan sebagainya.
7. Orang-orang terobsesi dengan masker
Pada masa wabah influenza 1918, masker wajah merupakan barang penting yang menjadi simbol patriotisme untuk menghentikan penyebaran virus. Ketika itu bahkan kerudung diiklankan sebagai masker untuk wanita.
Hal ini juga terjadi pada kasus COVID-19, ketika pihak berwenang menyarankan agar petugas kesehatan mengenakan bandana atau syal jika mereka tidak bisa mendapatkan masker, karena masyarakat umum telah membelinya secara masif.
8. Mandat penanganan wabah ditetapkan di level bawah
Pada 1918 di Amerika Serikat ketika wabah influenza menyerang, mandat penanganannya tidak dilakukan oleh pemerintah federal tetapi dibuat dari masing-masing negara, yang menghasilkan penanganan tidak merata.
Beberapa imbauan dilakukan di negara satu, sementara negara lainnya masih menjalankan apa yang telah diimbau untuk tidak dilakukan misalnya terkait dengan penutupan kegiatan dan ruang-ruang publik.
Pada 2020 di Amerika Serikat hal ini juga terjadi. Manda dan penegakan langkah-langkah kesehatan terkait COVID-19 diserahkan kepada negara masing-masing. Hanya saja, China memang telah menerapkan penutupan virus corona menyeluruh yang ketat.
9. Kesalahan informasi medis terus berkembang
Masa wabah influenza 1918 menghasilkan banyak informasi yang keliru berkaitan dengan penyakit tersebut. Orang menganggap bahwa alkohol dan air soda sebaga obat serta menggosok bawang di bagian dada bisa menyembuhkan penyakit.
Hal serupa juga terjadi pada masa 2020 yang malah telah mengadopsi teknologi, sehingga penyebaran mis-informasi menjadi lebih cepat. Orang berpikir bahwa koloid perak, obat herbal, dan minyak esensial sebagai antivirus. Bahkan beberapa orang mengklaim bahwa minum pemutih dapat membunuh virus dari penyakit COVID-19.
10. Ada perbedaan penanganan untuk yang kaya dan miskin
Sepperti yang telah terjadi dalam sejarah sistem perawatan kesehatan di banyak negara di dunia, orang kaya memiliki akses ke perawatan yang lebih baik. Ketika itu, masa perang dunia makin memperburuk suasana.
Banyak orang sakit, tetapi tidak semuanya memiliki akses ke rumah sakit yang baik. Dilaporkan bahwa orang kulit putih mendapatkan lebih banyak akses ke berbagai fasilitas kesehatan dibandingkan dengan orang kulit hitam.
Pada 2020 saat ini, hal demikian juga terjadi kendati bukan lagi berkaitan dengan perbedaan ras atau warna kulit. Ribuan orang di Amerika Serikat dengan gejala COVID-19 harus menunggu kesempatan untuk dilakukan tes.
Sementara, para selebriti, artis, dan anggota kongres diketahui bahwa mereka telah melakukan tes dengan cepat dan mudah. Kekayaan juga memungkinkan beberapa orang untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti kertas toilet dan pembersih tangan, sementara orang miskin harus rela menunggu bantuan karena terjadi kelangkaan.
11. Negara-negara bergantung pada sukarelawan untuk mendukung sistem kesehatan
Pada 1918, perawat sering dikirim untuk memeriksa keluarga yang menderita flu. Untuk mendorong percepatan pemeriksaan ini, para sukarelawan meminjamkan mobil mereka sehingga para perawat bisa menempuh lebih banyak waktu dalam sehari.
Hal ini juga terjadi pada 2020, ketika ribuan orang secara sukarela bekerja sama untuk melawan virus corona baru. 1.000 mantan perawat menawarkan layanan mereka di New York City pada Maret dan sebagian lainnya berkontribusi dengan penggalangan dana untuk mendapatkan akses fasilitas kesehatan.