Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah Indonesia akan memesan jutaan obat untuk menyembuhkan pasien virus corona baru Covid-19, Jumat (29/3/2020).
Obat tersebut adalah avigan dan chloroquine, yang merupakan hasil riset dan pengalaman sejumlah negara dalam menghadapi wabah yang disebabkan virus corona.
"Ya pertama antivirus sampai sekarang belum ditemukan, tapi ada beberapa obat yang dicoba di 1, 2, 3 negara yang memberi kesembuhan," klaim Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/3/2020).
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut PT Kimia Farma memiliki sekitar tiga juta chloroquine yang diproduksi PT Kimia Farma.
"Kalau satu pasien membutuhkan sekitar 50 butir setidaknya ada 60 ribu pasien yang bisa mendapatkan obat ini. Kalau memang efektif, tentunya PT Kimia Farma akan memproduksi kembali," kata Erick.
Namun, sejumlah pakar memberikan catatan terkait efektivitas chloroquine phosphate. Sebagian besar menekankan belum adanya bukti ilmiah yang cukup untuk obat yang juga dipakai untuk mengobati lupus dan rheumatoid arthritis.
Baca Juga
Belum ada bukti yang cukup kuat untuk menjadi obat pilihan Covid-19, menurut Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof Zubairi Djoerban, dalam sebuah diskusi baru-baru ini.
Kominfo Ralat Informasi
Portal Kominfo pun pada15 Maret menyebut chloroquin dapat menyembuhkan Covid-19 sebagai disnformasi berdasarkan pada pernyataan resmi WHO tanggal 20 Februari 2020.
Namun, dengan adanya informasi terbaru yang dirilis tanggal 16 Maret 2020 bahwa ternyata chloroquine direkomendasikan untuk menjadi bagian dalam proses penyembuhan Covid-19 dan telah melewati uji klinis terhadap 100 pasien di 10 rumah sakit di China, maka stempel Disinformasi pada 15 Maret 2020 dicabut.
Dikutip dari www.jstage.jst.go.jp, para peneliti di Department of Pharmacology, School of Pharmacy, Qingdao University, Qingdao, China, menyebut bahwa chloroquine phosphate, obat lama untuk malaria, terbukti memiliki khasiat yang jelas dan keamanan yang dapat diterima terhadap Covid-19 terkait pneumonia dalam uji klinis multicenter yang dilakukan di China.
Obat tersebut direkomendasikan untuk dimasukkan dalam Pedoman Pencegahan, Diagnosis, dan Pengobatan Pneumonia yang Disebabkan oleh Covid-19 yang dikeluarkan oleh Komisi Kesehatan Nasional Republik Rakyat China untuk pengobatan infeksi Covid-19 pada pasien yang lebih besar. populasi di masa depan.
Efektif Hambat SARS-CoV-2
Penelitian chloroquine atau tepatnya hydroxychloroquine, turunan chloroquine efektif menghambat infeksi SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19 secara in vitro berdasarkan penelitian dari Wuhan Institute of Virology dan National Engineering Research Center for the Emergency Drug, Beijing Institute of Pharmacology and Toxicology.
Dikutip dari laporan www.nature.com yang dipublikasi pada 18 Maret 2020, bahwa awalnya para peneliti menguji efektivitas dua obat untuk menghambat infeksi SARS-CoV-2 secara in vitro.
In vitro adalah istilah yang dipakai dalam biologi untuk menyebut kultur suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam laboratorium.
Kedua obat itu adalah remdesivir (GS-5734) dan chloroquine (CQ) phosphate. Remdesivir adalah obat yang dikembangkan oleh Gilead Sciences, perusahaan bioteknologi Amerika Serikat.
Pengobatan dengan remdesivir meningkatkan kondisi klinis pasien pertama yang terinfeksi oleh SARS-CoV-2 di Amerika Serikat, dan uji klinis fase III remdesivir terhadap SARS-CoV-2 diluncurkan di Wuhan pada 4 Februari 2020. Namun, sebagai obat eksperimental, remdesivir tidak tersedia secara luas untuk mengobati sejumlah besar pasien secara tepat waktu.
Alasan Chloroquine Dipilih
Oleh karena itu, dari dua obat potensial, chloroquine menjadi obat pilihan untuk penggunaan skala besar karena ketersediaannya, dan keamanan yang terbukti, serta biaya yang relatif rendah.
Mengingat data klinis awal, chloroquine telah masuk ke daftar obat percobaan dalam Pedoman untuk Diagnosis dan Perawatan Covid-19 (edisi keenam) yang diterbitkan oleh Komisi Kesehatan Nasional Republik Rakyat China.
Chloruquine telah lama digunakan untuk mengobati malaria. Namun, Plasmodium falciparum resisten terhadap chloroquine dan resistensi ini meluas, sehingga dikembangkan obat antimalaria baru sebagai pilihan untuk profilaksis atau pencegahan malaria.
Selain itu, overdosis chloroquine dapat menyebabkan keracunan akut dan kematian.
Dalam beberapa tahun terakhir ini di China, pemanfaatan chloroquine jarang dalam praktik klinis, produksi dan pasokansangat berkurang.
Adapun hydroxychloroquine (HCQ) sulfate, turunan dari chloroquine terbukti jauh lebih sedikit efek racunnya dibanding chloroquine pada hewan.
Lebih penting lagi, HCQ banyak tersedia karena juga digunakan untuk mengobati penyakit autoimun, seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA).
Kesimpulan dari penelitian itu, bahwa HCQ secara efisien dapat menghambat infeksi SARS-CoV-2 secara in vitro.
Dalam kombinasi dengan fungsi anti-inflamasi, chloroquine diprediksi memiliki potensi yang baik untuk memerangi penyaki, dan ini perlu dibuktikan pada manusia dengan uji klinis. Namun, peneliti mengingatkan meskipun HCQ kurang toksik daripada CQ, penggunaan jangka panjang dan overdosis masih dapat menyebabkan keracunan.
Telah dilaporkan bahwa penyerapan oral CQ dan HCQ pada manusia sangat efisien. Pada hewan, kedua obat berbagi pola distribusi jaringan yang sama, dengan konsentrasi tinggi di hati, limpa, ginjal, dan paru mencapai tingkat 200-700 kali lebih tinggi daripada yang ada di plasma.
Dilaporkan bahwa dosis aman HCQ sulfat (6-6,5 mg / kg per hari) dapat menghasilkan kadar serum 1,4-1,5 μM pada manusia11. Oleh karena itu, dengan dosis yang aman, konsentrasi HCQ dalam jaringan di atas kemungkinan akan dicapai untuk menghambat infeksi SARS-CoV-2.