Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pekerjaan rumah sudah menanti meskipun Rancangan Undang-Undang sapu jagad, Omnibus Law, masih dalam tahap pembahasan. Lantas, apakah regulasi sapu jagad bisa menyapu bersih peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan menghambat investasi?
Salah satu pekerjaan rumah yang perlu dirampungkan adalah menyisir perda yang dinilai bermasalah dan menggangu penanaman modal daerah. Temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang dilansir pada November 2019, setidaknya terdapat 347 Perda yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.
Rinciannya, sebanyak 235 perda bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait dengan perizinan, 7 terkait dengan masalah ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan lain-lain.
Adapun salah satu Perda yang dipersoalkan misalnya Perda Bekasi No.4/2016 terkait ketenagakerjaan. Beleid tersebut isinya mewajibkan perusahaan menampung 60% tenaga lokal. Masalahnya, perda tesebut tidak diringi dengan kemampuan menyediakan tenaga kerja yang kompeten.
Pembatalan sebuah peraturan daerah yang bermasalah kini tidak mudah. Sejak 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa menguji sebuah peraturan mesti melalui Mahkamah Agung. Pasalnya, Menteri Dalam Negeri tidak sederajat gubernur atau bupati yang dipilih langsung. Maksudnya, untuk mempertahankan semangat otonomi daerah.
Menguji produk hukumnya juga mesti lembaga eksekutif setingkat presiden,yang sama-sama dipilih langsung. Dalam sistem hukum Indonesia, Mahkamah Agung bersifat pasif. Artinya, menguji sebuah aturan mesti diajukan oleh mereka yang berkepentingan atau terkena dampak aturan tersebut, dalam hal ini pelaku usaha dan masyarakat.
Baca Juga
“Kami bukan pihak terdampak. Perlu ada legal standing untuk menguji aturan bermasalah,” jelas Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Pemnatauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) kepada Bisnis dikutip Rabu (11/3/2020).
Endi mengatakan selama tiga tahun, hanya dua peraturan daerah yang digugat ke Mahkamah Agung. Padahal, catatan KPPOD setidaknya terdapat 347 perda yang tumpang tindih dengan aturan lain di atasnya. Endi berharap, omnibus law akan menjadi pemecah kebuntuan itu.
Kendati begitu, masih ada kekhawatiran omnibus law RUU Cipta Kerja tidak selaras dengan otonomi daerah. Pasalnya , penyusunan pasal-pasal dalam rancangan yang mencapai lebih dari 1.000 halaman, memuat 11 sektor dan memampatkan lebih dari 70 beleid itu terkesan buru-buru.
Namun, fakta empirisnya adalah banyak perda bermasalah yang tidak tertangani, atau tidak ada yang mengajukan gugatan keberatan. Omnibus law, dia berharap, bisa jadi salah satu harapan.
Meski demikian, selanjutnya, pemerintah perlu lebih proaktif untuk menyisir perda-perda tersebut. Apalagi kewenangan di tangan Presiden. Harapannya, langkah tersebut akan lebih efektif.
Yang menjadi catatan omnibus law jangan sampai menjadi jalan resentralisasi atau mengambil kewenangan daerah ke pusat.
“Jadi yang harus dipastikan kewenangan daerah atas urusan perizinan dan atas pemungutan pajak retribusi, sejauh mungkin tidak terganggu. Ini hanya perlu ada standardisasi seperti tata kelola atau layanan agar mencapai standar service level agreement-nya. Sehingga tidak ada variasi lokal yang terlalu jomplang,” jelasnya.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga menyusun 36 Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan turunan dari omnibus law tersebut. Menurutnya, jangan sampai RPP tersebut menjadi pintu untuk resentralisasi. Jadi, dalam pembahasan tersebut harus terbuka, pemda perlu juga dilibatkan dalam proses diskusi.
“Kala UU-nya bagus, tapi PP itu kan sektoral kembali ke kementerian lembaga. Kalau kementerian lembaga masih dominan rezim sektoralnya, ya bahaya,” katanya.