Bisnis.com, JAKARTA – Ikatan Guru Indonesia (IGI) menilai penghapusan tenaga honorer di seluruh instansi pemerintahan, tak terkecuali sekolah negeri, akan memberikan kontribusi besar kepada kualitas pendidikan di Indonesia.
Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim menyebut sistem belajar mengajar di Tanah Air dirusak oleh sistem yang memungkinkan sekolah merekrut tenaga honorer untuk menjadi tenaga pengajar atau guru. Pasalnya, sistem rekrutmen yang dilakukan biasanya serampangan, tanpa pola, dan tanpa melalui proses yang jelas atau terstandardisasi
“[Hal tersebut] berakibat pada tingginya variasi kualitas guru karena mulai dari calon guru dengan kompetensi terbaik sampai calon guru dengan kompetensi terjelek, mulai dari mereka yang sangat baik mengajar hingga yang sangat buruk mengajar, mulai dari yang bermental baik hingga bermental sangat buruk, mulai dari mereka yang mengajar dengan hati hingga mereka yang tak punya hati semuanya bisa jadi guru,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis.com pada Jumat (24/1/2020).
Lebih lanjut, Ramli juga menyebut bahwa di sejumlah sekolah, muncul anggapan bahwa profesi guru hanya sebagai status semata. Dia memberikan contoh ketika satu sekolah membutuhkan lima guru tambahan, tetapi ada 20 guru honorer tambahan di dalamnya, sehingga pembagian pengajaran guru tidak efisien dan merugikan guru bersertifikasi.
“Jam mengajar pun dibagi rata seperti sepotong kue yang dipotong kecil-kecil. Bahkan, banyak guru yang hanya mengajar 2-3 jam per minggu hanya sekadar agar mendapatkan status guru. Bahkan terkadang terjadi kelucuan, guru bersertifikasi harus mencari tambahan jam mengajar diluar sekolahnya demi memberi kesempatan guru honorer ini,” ungkapnya.
Menurut Ramli, ada hal yang menyulitkan sekolah untuk menghambat pertumbuhan guru honorer adalah adanya “titipan” dari kepala sekolah atau pejabat setempat. Mau tidak mau, dengan kehadiran guru “titipan” itu, katanya, pihak sekolah harus menyiapkan jam mengajar bagaimanapun caranya untuk mengakomodasi mereka.
Kemudian, Ramli menilai kehadiran guru honorer di suatu sekolah juga membuat guru bersertifikasi yang notabene berstatus aparatur sipil negara (ASN) menjadi malas untuk mengajar. Mereka dapat dengan mudah meminta guru honorer yang jam mengajarnya sedikit untuk menggantikan kapanpun mereka mau.
” Dengan honor hanya Rp6000/jam, tentu saja sangat enteng buat guru ASN apalagi sudah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan daerah. Mereka bisa bebas bercengkerama dengan koleganya dan akan semakin sibuk menjelang pilkada, terutama jika petahana akan segera bertarung kembali.,” tuturnya.
Demikian halnya saat diklat guru, menurut Ramli, banyak kawan-kawan guru honorer jauh lebih rajin ikut berlatih meningkatkan kompetensinya dibanding guru bersertifikasi. Namun, dengan status mereka yang tak jelas, diklat tersebut berpotensi menjadi mubazir jika mereka nantinya tak lagi diperpanjang masa honorernya atau tak lagi diberikan jam pengajaran oleh sekolah.
"Dengan semua persoalan itu, sudah sangat tepat jika pemerintah sesegera mungkin mengaktualisasikan kesepakatan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini dan tentu saja segera menyiapkan pola rekruitmen untuk mengisi kekosongan yang akan diakibatkan penghapusan sistem honorer ini," tegas Ramli.