Kabar24.com, JAKARTA — Wacana periode masa jabatan presiden tiga periode terus mengemuka menyusul rencana amendemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sekretaris Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Saan Mustopa mengatakan bahwa fraksinya ingin amendemen UUD 1945 tidak terbatas untuk menghidupkan kembali semacam GBHN di era Orde Baru, namun Saan membuka wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Ada wacana, kenapa tidak kita buka wacana [masa jabatan presiden] satu periode lagi menjadi tiga periode. apalagi dalam sistem negara yang demokratis kan masyarakat yang sangat menentukan," ujar Saan di Kompleks Parlemen, Selasa (26/11/2019).
Menurut Saan, wacana penambahan masa jabatan presiden muncul dari pertimbangan efektivitas dan efisiensi suatu pemerintahan.
Menurutnya, masa jabatan presiden saat ini perlu dikaji apakah memberikan pengaruh terhadap kesinambungan proses pembangunan nasional.
Oleh sebab itu, Fraksi Partai Nasdem masih terus menghimpun berbagai masukan dari masyarakat. Dia memprediksi sikap resmi fraksinya akan dimatangkan setelah memasuki masa persidangan II atau sekitar awal Januari 2020
"Maka soal-soal seperti itu kita diskusikan. Kita kaji. Kita akan undang akademisi, nanti kita akan rutin lakukan semacam kajian secara komprehensif di fraksi maupun di partai terrhadap wacana Itu semua," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menilai usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dapat membahayakan reformasi. Dia mengingatkan jika rencana itu terwujud maka akan menjadi mimpi buruk bangsa Indonesia karena kembali ke masa Orde Baru.
"Saya heran masih ada pihak-pihak yang menginginkan penambahan masa jabatan presiden. Saya pikir jelas usulan itu membahayakan bagi reformasi yang sedang berjalan, masa mau nostalgia otoritarianisme Orde Baru lagi," kata Mardani.
Dia menjelaskan, kalau dalil masa jabatan presiden tiga periode dengan alasan memastikan kesinambungan pembangunan, sebenarnya masih banyak solusi lainnya.
Dia mencontohkan dengan melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional saat ini. Misalnya, misalnya MPR menghidupkan GBHN, bukan mengaktifkan kembali watak oligarki dalam sistem demokrasi saat ini.
"Wacana penambahan masa jabatan presiden itu digulirkan bukan hanya sekali atau dua kali, misalnya pada 2010 isu tersebut sempat berkembang," ujarnya.
Saat ini, menurut dia, setelah Presiden Jokowi terpilih kembali, wacana tersebut mulai kembali dikembangkan, bahkan muncul ide presiden dipilih lagi oleh MPR.