Bisnis.com, PURWOKERTO - Putusan Hakim Kasasi yang menetapkan penyitaan aset PT First Travel masih menjadi sorotan.
Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho mengharapkan adanya solusi terbaik terkait dengan aset PT First Travel yang menjadi barang bukti sitaan negara.
"Dalam suatu peradilan, suatu barang bukti itu ada dua dimensi. Satu, kembalikan kepada pemilik. Kedua, dirampas untuk negara," kata Hibnu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (19/11/2019).
Hibnu mengatakan hal itu kepada ANTARA terkait dengan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Surat Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 yang menyatakan bahwa barang bukti kasus penipuan oleh PT First Travel harus dikembalikan ke kas negara.
Total barang sitaan kasus First Travel tercatat sebanyak 820 item, yang 529 di antaranya merupakan aset bernilai ekonomis termasuk uang senilai Rp 1,537 miliar.
Menurut Hibnu, barang bukti dirampas untuk negara itu jika merupakan hasil kejahatan atau dirampas untuk dimusnahkan kalau merupakan barang-barang berbahaya.
"Dalam konteks ini [barang bukti] kan milik para jemaah, harusnya hakim tidak berpandangan seperti itu. Dalam ilmu hukum itu disebut dengan cara berhukum yang tidak pakai nurani," tuturnya.
Oleh karena itu, kata Hibnu, para korban penipuan First Travel menjerit ketika mengetahui ketika aset perusahaan tersebut dirampas untuk negara.
Hibnu mengharapkan adanya jalan lain agar aset yang dirampas untuk negara itu dapat dikembalikan kepada jemaah yang menjadi korban penipuan oleh terdakwa antara lain Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan.
"Bisa juga menggunakan upaya hukum lain karena zaman sekarang harus berpikir out the box untuk kepentingan masyarakat. Ini yang harus dikembangkan," ucapnya.
Disinggung mengenai kemungkinan aset First Travel yang dirampas untuk negara diserahkan ke korban setelah diterima oleh Kementerian Keuangan, Hibnu mengatakan hal tersebut tergantung terminologi dari dirampas untuk negara.
"Sekarang terminologinya apa? Dimasukkan ke negara sebagai pendapatan negara ataukah diambil alih negara untuk menata dan selanjutnya dikembalikan ke masyarakat. Ini yang kita tidak tahu terminologinya," kata Hibnu.
Hibnu mengharapkan hakim melihat aset tersebut diambil oleh negara, bukan untuk masuk ke kas negara melainkan untuk penertiban pengembalian kepada jemaah.
"Jadi negara punya tanggung jawab mengaturnya. Itu yang kita harapkan seperti itu," ujar Hibnu.
Oleh karena itu, kata Hibnu, harus ada solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan menggunakan hati nurani.