Bisnis.com, JAKARTA - LSM antikorupsi mengingatkan agar mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap dilakukan secara demokrasi alias secara langsung. Bila diubah, maka diibaratkan seperti memilih kucing dalam karung.
Manager Riset Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko mengatakan bahwa wacana terkait mekanisme Pilkada langsung menjadi tidak langsung merupakan wacana yang mundur ke belakang dari demokrasi substansial.
Hal tersebut menanggapi wacana dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bahwa Pilkada langsung menimbulkan biaya politik yang tinggi baik dari APBN, APBD serta dari calon kepala daerah sendiri sehingga tak menutup kemungkinan terjadinya perilaku koruptif.
Menurut Wawan, jika biaya politik tersebut menjadi salah satu alasan untuk mengubah mekanisme Pilkada langsung menjadi tidak langsung maka seharusnya hal itu menjadi problem utama untuk diatasi.
Wawan sangsi bila mekanisme Pilkada diubah maka tak menjamin akan memperoleh kepala daerah yang terbebas dari perilaku korupsi.
Sejauh ini, Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat ada 120 kepala daerah yang sudah diproses baik kasus suap maupun pencucian uang.
Dari jumlah itu, sebanyak 49 di antaranya diproses melalui operasi tangkap tangan dengan jumlah terbanyak pada 2018 mencapai 22 dan 2019 yang sejauh ini berjumlah 9 OTT.
"Pengalaman yang lalu menyatakan bahwa Pilkada tak langsung hanya semacam memilih kucing dalam karung," tutur Wawan saat dihubungi Bisnis, Selasa (19/11/2019).
Wawan menyarankan agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah harus mulai menertibkan para partai politik (parpol) terkait dengan transparansi dan akuntabilitas dana politiknya melalui laporan secara rutin jika biaya politik tinggi menjadi alasannya.
"Dan buat kebijakan yang mengarah pada antipolitik uang," kata dia.
Menurut Wawan, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mekanisme ini pernah hampir diberlakukan meskipun pada ujungnya UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut batal melalui terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Jadi melihat Pilkada langsung jangan dari sisi tingginya biaya politik saja, tapi menjaga roh demokrasi substansial sebagai amanat reformasi," kata Wawan.
Wawan tetap menyarankan agar Kemendagri mengevaluasi terlebih dahulu para parpol peserta pemilu serta memberlakulan sanksi yang cukup keras jika terbukti ada mahar dan politik uang.
Apabila hal itu tetap terjadi sehingga menciptakan biaya politik yang tinggi maka penegakan hukum adalah kuncinya dalam mengatasi masalah tersebut.
"Beri sanksi tegas ke parpol. Selama ini sanksi ke parpol, kan, tidak pernah terjadi kecuali dilakukan oleh konstituen dengan tidak memilih parpol tersebut," tuturnya.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengaku tidak bisa membayangkan dengan proses pilkada tidak langsung mengingat tidak ada mekanisme publik untuk bisa terlibat.
Menurut Donal, akar permasalahan dari tingginya biaya politik tersebut adalah dari parpol itu sendiri.
"Kalau ditarik dengan kaitan pilkada seolah-olah kalau saya lihat, kan, pernyataan itu hanya menyalahkan publik saja. Padahal akarnya di parpol," katanya.
Pihaknya juga bersama LIPI, KPK, dan lembaga lain mendorong agar ada perbaikan revisi undang-undang parpol yang bertujuan memperbaiki kelambagaan dan organisasi parpol yang dinilai semakin tidak demokratis, sentralistik, dan dalam kekuasaan ketua umum parpol dalam segala keputusan.
Donal juga menyatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan tentang konsepsi tata kelola dan perbaikan-perbaikan secara komprehensif. Hanya saja, sejauh ini tidak ada tindaklanjutnya dari pemerintah.