Kabar24.com, JAKARTA — Sejumlah pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengklasifikasikan PT Taspen (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial agar tetap menggarap pembayaran pensiun dan tabungan hari tua bekas abdi negara.
Padahal, UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) mencantumkan bahwa BPJS hanya mencakup BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua badan hukum tersebut terbentuk sejak 1 Januari 2014.
Seiring dengan pembentukan lembaga, UU 24/2011 juga mengatur transformasi perusahaan-perusahaan jaminan sosial yang berdiri sebelumnya. BPJS Kesehatan merupakan penerus PT Askes (Persero), sedangkan BPJS Ketenagakerjaan adalah nama baru dari PT Jamsostek (Persero).
Sebagai penyelenggara jaminan kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian, BPJS Ketenagakerjaan akan mengambil alih pula fungsi PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) paling lambat pada 2029.
Pengambilalihan fungsi Taspen, meskipun baru selesai 10 tahun lagi, ternyata mencemaskan sejumlah pensiunan pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS) beserta PNS aktif. Salah satunya adalah mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Mohammad Saleh.
Bersama dengan 14 pemohon perorangan lain, Saleh menggugat UU BPJS ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai pengalihan Taspen ke BPJS Ketenagkerjaan akan mengurangi nilai manfaat program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua PNS.
Muhammad Asrun, kuasa hukum para pemohon, menjelaskan bahwa UU BPJS tidak membedakan penyelenggara jaminan pensiun pekerja swasta dengan PNS. Padahal, menurut dia, PNS seharusnya digarap oleh penyelenggara berbeda sebagai wujud penghargaan atas pengabdian mereka selama bertahun-tahun.
Tiadanya pemisahan tata kelola itu berimbas pada manfaat yang diperoleh pensiunan PNS. Asrun mencontohkan manfaat pensiun PNS saat ini sebesar Rp1,56 juta-Rp4,42 juta, tetapi berpotensi menurun menjadi Rp300.000-Rp3,6 juta sesuai dengan PP No. 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.
“Para pemohon sangat keberatan karena akan mengalami kerugian atau berpotensi berkurangnya nilai manfaat dan hilangnya layanan terbaik dari Taspen yang telah terbukti dirasakan manfaatnya oleh para pemohon,” kata Asrun dalam berkas permohonan yang diajukan di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Asrun mengklaim pemisahan penyelenggara jaminan pensiun PNS dengan pekerja swasta diterapkan di negara lain seperti Jerman, India, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Lagi pula, imbuh dia, regulasi penyelenggaraan program pensiun dan hari tua PNS diatur dalam peraturan pemerintah (PP) yang berbeda dengan pekerja swasta.
Menurut Asrun, pemisahan tata kelola bertujuan untuk menghindarkan timbulnya ‘resiko finansial yang fundamental’ atas jaminan pensiun PNS. Bila resiko finansial terjadi maka ketenangan, semangat, kreativitas, dan loyalitas aparatur negara akan menurun.
“Sehingga menimbulkan penurunan peran negara dalam memberikan layanan dan kesejahteraan kepada masyarakat,” tuturnya.
Berpijak dari argumen tersebut, para pemohon mengharapkan pensiunan PNS tetap dapat dilayani secara khusus oleh Taspen. Karena itu, mereka meminta kepada MK agar menafsirkan konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 ayat (2) UU BPJS secara bersyarat dengan mengklasifikasikan Taspen sebagai BPJS seperti halnya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Konsekuensinya, pengaturan pengalihan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan pada Pasal 57 huruf (f), Pasal 65 ayat (2), dan Pasal 66 UU BPJS juga dibatalkan. Jika permintaan tersebut dikabulkan, para pemohon menilai hak konstitusional mereka untuk mendapatkan jaminan sosial tidak tercederai lagi.
“Upaya para pemohon mengajukan uji materi sejalan dengan spirit yang dijamin konstitusi yaitu dalam rangka memajukan dirinya dan memperjuangkan hak untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara,” kata Asrun.