Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo didorong untuk mendengarkan aspirasi publik dengan memilih calon menteri yang layak dalam proses penyusunan kabinet periode pemerintahan 2019 – 2024.
Menurut Syamsuddin Haris, partai politik yang mengusung pasangan calon tidak berhak menuntut jatah kursi menteri. Hal ini sebagai konsekuensi sistem demokrasi presidensiil yang dianut Indonesia.
“Parpol-parpol koalisi pendukung Jokowi tidak berhak menuntut jatah kursi dalam kabinet,” kata pengamat politik senior dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Hal itu dikatakan Syamsuddin dalam diskusi VISI bertajuk "Mencermati Kabinet Jokowi Jilid II" di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2019).
Syamsuddin menyebutkan otoritas pemilihan menteri-menteri memang sepenuhnya dimiliki presiden. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dipagari oleh dua hal yakni moralitas publik dan rasionalitas demokrasi.
“Jadi hak prerogatif presiden itu pun tidak bebas lepas begitu saja. Moralitas publik ini yakni kepentingan publik untuk memperoleh menteri yang layak, bukan hanya secara profesionalitas, tapi juga kualitas dan integritas. Rasionalitas demokrasi artinya Presiden kan mendapat mandat dari publik lewat pemilu, artinya harus melaksanakan apa yang jadi aspirasi publik,” papar Syamsuddin.
Dari sisi etika, Syamsuddin juga mengkritisi langkah partai politik baik pendukung maupun oposisi yang menagih jatah kursi menteri.
Menurut Syamsuddin pada dasarnya koaliasi parpol bersifat sangat longgar. Partai mendukung pencalonan Jokowi dalam kontestasi pemilu tapi tidak ada kesepakatan terkait pemberian kursi dalam kabinet.
“Tidak ada MoU atau konsensus yang mendasari terbentuknya koalisi. Ini kan koalisi yang sangat longgar, sehingga tidak layak bagi parpol menggugat atau menagih jatah kursi. Bukan hanya tidak ada hak, tapi tidak etis. Tapi tidak etis juga bagi Jokowi terkesan mendahulukan oposisinya yakni Prabowo dan Edhy Prabowo yang melawan Jokowi-Ma’ruf habis-habisan dalam Pilpres 2019,” papar Syamsuddin.
Seperti diketahui Jokowi tengah menyusun nama-nama calon menteri yang akan membantunya bekerja dalam kabinet selama 2019-2024.
Pada Senin (21/10), sehari setelah pelantikan Presiden, sejumlah tokoh mulai dipanggil ke Istana Negara. Prabowo Subianto juga hadir pada hari pertama tersebut. Prabowo menyatakan dirinya diminta membantu Jokowi di bidang pertahanan.
Masuknya Prabowo dalam daftar kabinet Jokowi dipandang sebagai sebuah kemunduran dan pendangkalan demokrasi politik RI yang idealnya menjunjung sportivitas dan posisi masing-masing pihak.
Menurut Syamsuddin, seharusnya Jokowi tidak perlu mengajak Gerindra dalam kabinet dan sebaliknya. Prabowo juga semestinya menolak ajakan tersebut dan tetap memimpin Gerindra sebagai partai oposisi. Hal ini, ujar Syamsuddin, perlu demi menciptakan sistem pemerintahan yang seimbang dan demokratis.
“Mestinya dalam demokrasi yang sehat itu, yang menang berkuasa dan yang kalah legowo jadi oposis. Kalau semua yang kalah diajak masuk, tidak ada oposisi, ini bisa membawa negara kita pada model negara integralistik atau kekeluargaan, ini sungguh-sungguh mengancam demokrasi kita,” katanya.