Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memainkan Wacana Bersama Buzzer

Kehadiran buzzer alias pendengung tampaknya sudah menjadi sesuatu yang biasa di jagat maya Indonesia, sejalan dengan dinamika kehidupan bernegara.
Ilustrasi media sosial./Reuters-Beawiharta
Ilustrasi media sosial./Reuters-Beawiharta

Kendalikan massa, informasi palsu
Mereka ingin dirimu percaya
Opini publik yang menipu
Kebenaran pun nomor dua

Lirik lagu bertajuk Disinformasi dari band rock Seringai cukup menggambarkan cara pandang masyarakat soal buzzer di media sosial. Buzzer dianggap mengendalikan opini massa melalui informasi yang kebenarannya perlu dipertanyakan.

Berdasarkan penelitian Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017, buzzer alias para pendengung diketahui kerap mendapatkan citra negatif di khalayak Indonesia lantaran keterlibatannya dalam peristiwa politik.

Buzzer mendapatkan cap sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial. Padahal, awalnya, buzzer lumrah dilibatkan oleh korporasi dalam hal promosi produk.

Penelitian itu pun mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.

Buzzer biasanya punya jaringan luas, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu.

Memainkan Wacana Bersama Buzzer
Dua orang membuka laman Google dan aplikasi Facebook melalui gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019)./ANTARA FOTO-Akbar Nugroho Gumay

Stigma negatif yang menyelimuti buzzer ini cukup mengganggu Rahaja Baraha (bukan nama sebenarnya), mantan konsultan komunikasi yang menggunakan buzzer. Dia mengatakan pekerjaan buzzer selayaknya influencer, salah satu bagian dari strategi komunikasi pemasaran.

Buzzer juga disebutnya tak melulu bayaran. Dia mengelompokkan buzzer dalam dua kategori, yakni buzzer organik dan komersial.

Buzzer organik adalah orang-orang yang melakukan buzzing (menyebarkan informasi atas sesuatu) di media sosial yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk atau jasa. Sementara itu, buzzer komersial melakukan buzzing atas permintaan klien.

Buzzer komersil cenderung terstruktur dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok mempunyai kepala, yakni seorang influencer atau opinion leader di media sosial.

Biasanya, sang opinion leader memiliki jaringan yang luas di media sosial. Singkatnya, orang yang terkenal.

"Buzzer itu enggak semena-mena mendukung asal, dia pasti punya kepala yang kepalanya ini juga punya power di media sosial. Yang akhirnya opini dari si influencer ini dipercaya publik," papar Rahaja kepada Bisnis, pekan lalu.

Dia menyebutkan pola bisnis buzzer komersil mirip agensi media atau periklanan. Awalnya, para penyedia jasa bertemu klien untuk kemudian membicarakan pesan yang ingin disampaikan klien ke masyarakat.

Klien biasanya meminta agar pesan itu diketahui oleh khalayak luas dan jadi bahan perbincangan di media sosial. Kemudian, tim penyedia jasa pun berembuk dan menyusun strategi agar pesan itu sampai ke khalayak.

"Strateginya, pokoknya dengan cara apapun pesannya harus sampai ke publik," terang Rahaja.

Untuk menyampaikan pesan, mereka memanfaatkan berbagai medium terutama media sosial.

Memainkan Wacana Bersama Buzzer
Ilustrasi aktivitas di depan komputer./REUTERS-Kacper Pempel

Salah satu proses kerja yang biasa dia lakukan adalah dengan menulis sebuah tulisan komprehensif yang sesuai arahan klien. Tulisan itu dimuat di blog dan forum-forum lainnya di internet.

Tulisan itu pun harus dilengkapi data-data yang menuntun pembaca agar beropini sesuai permintaan klien. Kemudian, disebar di media sosial, termasuk Facebook dan Twitter.

Setelah itu, para buzzer yang menggunakan akun-akun palsu di media sosial ikut meramaikan perbincangan di dunia maya.

Media sosial yang paling sering digunakan oleh Rahaja untuk mendengungkan suatu pesan adalah Twitter. Alasannya, persebaran pesan di media sosial ini sangat mudah.

Tanpa harus menjadi terkenal atau diikuti banyak orang, sebuah akun bisa ikut meramaikan perbincangan hanya dengan menggunakan tagar-tagar unik.

Setelah selesai melakukan aksinya, biasanya tim melakukan analisis apakah pesan tersebut sampai ke khalayak, seberapa banyak diperbincangkan di media, dan sebagainya.

Setelah melakukan analisis, para buzzer merencanakan strategi untuk melancarkan aksi buzzing yang efektif pada esok harinya. Proses strategi, aksi, dan analisis alias kontrol itu dilakukan secara terus menerus.

Rahaja mengaku kerap menggunakan akun-akun palsu untuk melancarkan aktivitas buzzing. Satu tim buzzer kecil yang berisikan 12-15 orang biasanya memiliki hingga 300-500 akun media sosial.

Pengamat keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan sampai saat ini, belum ada yang memetakan seberapa besar industri buzzer.

Penelitian Universitas Oxford berjudul The Global Disinformation Order 2019: Global Inventory of Organised Social Media Manipulation yang digarap Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyebutkan buzzer di Indonesia tergabung dalam kelompok-kelompok kecil dan berkapasitas rendah.

Memainkan Wacana Bersama Buzzer

Dalam penelitian itu, disebutkan para pasukan siber atau buzzer biasanya dibayar dalam rentang Rp1 juta-Rp50 juta.

Rahaja mengaku bahwa industri buzzer cukup menggiurkan. Satu tim berisi 12 orang biasanya mendapatkan bayaran mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Gambarannya, satu orang pekerja bisa mendapat Rp3 juta-Rp4 juta. Sementara itu, koordinator tim itu biasanya mendapat Rp6 juta-Rp7 juta.

Dia juga mengakui bisnis buzzer politik biasanya berada di bawah tanah. Persetujuan antara klien dan penyedia jasa pun seringkali tidak hitam di atas putih.

Dengan tidak adanya kontrak, Rahaja pun sempat merasakan tidak dibayar oleh klien.

“Misal dua bulan terakhir nih enggak dibayar, terus bisa apa? Mau menuntut enggak mungkin,” ucapnya.

Disinformasi dan Mengatur Wacana
Penelitian Bradshaw dan Howard mencantumkan Indonesia sebagai salah satu negara yang menggunakan pasukan siber sepanjang 2019. Tujuannya, mengendalikan isu yang berkembang di masyarakat.

Penelitian itu menyebutkan beberapa strategi yang digunakan para buzzer di Indonesia, yakni disinformasi dan memanipulasi media. Strategi ini disebut sebagai yang paling umum dan mutakhir digunakan di 52 dari 70 negara yang diteliti.

Pakar telematika Abimanyu Wahyu Hidayat menerangkan disinformasi dan manipulasi menjadi strategi yang paling marak digunakan lantaran sangat berkaitan dengan kecenderungan dari khalayak pengguna media sosial.

Menurutnya, khalayak menyukai informasi-informasi di balik berita. Mereka cenderung mencari cerita di balik pemberitaan media massa pada umumnya.

“Karena anggapannya kalau sudah di media mainstream hanya berdasarkan press conference. Terus, ini orang [buzzer politik] bisa menceritakan hal lain di luar itu,” jelas Abimanyu kepada Bisnis.

Terkadang, sambungnya, buzzer kerap mengutip nama figur kemudian mengalisisnya dan menyebarkannya di media sosial. Padahal, figur yang bersangkutan tidak pernah mengutarakan hal tersebut.

Penelitian Bradshaw dan Howard mengungkapkan para pasukan siber menyebarkan disinformasi lewat konten seperti meme, video, situs berita palsu, dan media yang termanipulasi untuk menyesatkan pengguna media sosial.

Seringkali juga, sebut penelitian itu, para pasukan siber membuat konten yang khusus ditargetkan kepada segmen khalayak tertentu.

Pratama menuturkan pengaruh buzzer terhadap wacana yang berkembang di masyarakat sangatlah kuat. Tak jarang kekuatan buzzer lewat media sosial bisa membuat suatu pemerintahan mengubah atau menunda suatu kebijakan tertentu.

Berdasarkan hasil riset We Are Social Hootsuite yang dirilis Januari 2019, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56 persen dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20 persen dari survei sebelumnya.

“Untuk saat ini, sangat besar ya. Oleh karena itu, para penentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, sangat total berjuang di media sosial, begitu juga sebaliknya. RUU KUHP dan berbagai RUU lain banyak yang ditunda pengesahannya karena desakan publik lewat media sosial dan akhirnya DPR menunda,” tutur Pratama.

Kendati demikian, dia tidak bisa memberikan data kuantitatif terkait seberapa besar pengaruh kekuatan para pendengung terhadap kebijakan atau wacana yang tengah diperbincangkan publik.

Dikutip dari Tempo, peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Ismail Fahmi menyebutkan selama periode 10-17 September 2019, ada 26.372 kali percakapan di Twitter yang membahas KPK dan Taliban di dunia maya. Periode tersebut merupakan masa-masa menjelang revisi UU KPK disahkan di DPR.

Isu Taliban dinilai efektif menyerang KPK. Selain itu, ada tagar-tagar unik seperti #KPKPATUHATURAN, #KPKCengeng, dan #DukungRevisiKPK.

Ada pula giveaway alias hadiah bagi orang-orang yang menanggapi cuitan di akun Twitter tertentu. Skema ini di antaranya digunakan oleh akun @MenuWarteg.

"Giveaway Sore. 50K buat 2 orang yang beruntung. (Masing2 25K OVO/Gopay/Pulsa). RT & reply dengan domisili kamu #KPKPATUHAturan," demikian isi cuitannya.

Memainkan Wacana Bersama Buzzer
Selembar kain hitam yang menutupi logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi tersebut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019)./ANTARA FOTO-Indrianto Eko Suwarso

Buzzer Pemerintah
Rahaja mengaku pernah mendapatkan klien dari pemerintah, meski tidak memerinci identitas si klien. Dia bercerita pernah menangani kasus heboh yang melibatkan organ di pemerintahan setelah diminta oleh bagian humas badan tersebut.

Di sisi lain, Kantor Staf Presiden (KSP) secara tegas menyatakan pemerintah tidak pernah menggunakan jasa buzzer. Dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, belum lama ini, Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin mengatakan justru pemerintah lah yang kerap jadi sasaran, bahkan korban, buzzer politik di media sosial.

Menurut Ngabalin, pemerintah tidak mungkin mengorganisir lembaga di luar pemerintah dan tidak pernah memelihara buzzer politik. Suara-suara di media sosial yang mendukung pemerintah disebutnya sebagai inisiatif pribadi warganet.

Dia pun tidak mempermasalahkan para buzzer yang sepaham dengan pemerintah. Narasi positif soal pemerintah dari warganet dan buzzer dipandang sebagai bentuk dukungan masyarakat.

"Kecuali pemerintah organize, kan tidak ada. Tidak di-organize," ucap Ngabalin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper