Bisnis.com, JAKARTA – Hingga saat ini baru Partai Keadilan Sejahtera yang bersikap menjadi oposisi pemerintahan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Partai bukan pemenang pemilu 2019 seperti Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat belum ada pernyataan resmi.
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian mengatakan bahwa harus ada partai yang menjadi oposisi. Kalau tidak, tentu berbahaya bagi demokrasi. Ini menjadi evaluasi pada pemerintahan periode pertama Jokowi.
“Kami namakan ini sebagai defisit demokrasi. Makanya ketika PKS menjadi partai oposisi. Ini adalah salah satu ikhtiar kita agar demokrasi bisa berjalan dengan baik. Kemudian rakyat juga tidak dirugikan,” katanya di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Pipin menjelaskan bahwa posisi ini sama dengan keinginan rakyat. Publik menginginkan ada yang mengawasi kinerja pemerintah.
“Masyarakat kehendaki adanya oposisi. Jadi jangan berdebat apakah oposisi ada atau tidak ada dalam konstitusi. Secara fakta memang dibutuhkan oposisi di berbagai negara,” jelasnya.
PKS tambah Pipin berharap partai non pengusung Jokowi-Amin ikut menjadi penyeimbang dan mengawasi kebijakan pemerintah. Ini termasuk Gerindra yang sudah diajak langsung oleh Jokowi menjadi koalisi. Keinginan tersebut sama seperti di Amerika. Partai yang kalah otomatis di luar pemerintah.
Baca Juga
“Jadi kalau kedewasaan politik, ketika yang kalah maka di luar pemerintahan. Jadi ini akan menyehatkan demokrasi,” ucapnya.
Saat ini, partai koalisi Jokowi-Amin menguasai 60 persen atau 349 kursi di parlemen. Jika Gerindra gabung, maka bertambah 13,6 persen atau 78 kursi.
Sementara itu, PKS yang pasti menjadi pengawas pemerintah hanya memiliki 50 kursi (8,7 persen). Dua partai yang belum bersikap yaitu Demokrat 54 (9,4 persen) dan PAN 44 (7,7 persen).
Pada periode pertama yaitu 2014—2019, Jokowi-Jusuf Kalla hanya memiliki 207 kursi atau 36,96 persen di legislatif. Itu terdiri atas kursi PDIP 109 (9,5 persen), Nasdem 35 (6,25 persen), dan PKB 47 (8,4 persen), dan Hanura 16 (2,9 persen).
Jokowi-JK lalu mengajak partai lain karena kritik kepadanya terlalu keras sehingga kinerja agak terganggu. Lalu Golkar 91 (16,3 persen), PPP 39 (7 persen), dan PAN 49 gabung (8,75 persen).
Ini membuat partai pemerintah mayoritas dengan total 386 kursi atau 68,93 persen. Roda pemerintahan selanjutnya bergerak cepat.