Bisnis.com, JAKARTA – Akademisi mendorong agar Mahkamah Agung RI menerapkan sistem e-court di seluruh peradilan agar iklim investasi Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Guru Besar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta I.B.R Supancana mengatakan pasalnya salah satu penilaian Bank Dunia di ranah hukum terhadap penegakan kontrak atau enforcing contract Indonesia masih sangat rendah karena penerapan e-court belum merata.
“Sistem peradilan Indonesia masih perlu diperbaiki strukturalnya dengan berbasis e-court karena dalam pengadilan itu ada mediasi sehingga penyelesaian sengketa yang cepat sangat dibutuhkan. Indonesia contract enforcement-nya level rendah rating 145 dari 180-an negara,” kata Supancana kepada Bisnis, belum lama ini.
Supancana yang juga pendiri Bali International Arbitration and Mediation Center (BIAMC) ini mengatakan penyelesaian sengketa yang cepat sangat dibutuhkan oleh pelaku bisnis karena lebih efektif dan efisien tertutama tidak mengeluarkan biaya yang banyak dan memakan waktu yang berlarut-larut.
Oleh karena itu, menurutnya, untuk mensosialisasikan peran teknologi di dalam ranah hukum termasuk e-court maka BIAMC akan menggelar kegiatan Bali Arbitration Summit bertemakan “Technology in Dispute Revolution-Navigating the 4th Industrial Revolution” pada 18 hingga 22 November 2019.
Dalam kegiatan tersebut akan diadakan diskusi selama 4 hari yaitu, hari pertama membahas tentang resolusi sengketa online, peran arbitrase di teknologi finansial, dan penerapan efisiensi teknologi di firma hukum.
Pada hari kedua membahas tentang artificial intelligence, cryptocurrency dan arbitrase, perlindungan data di arbitrase. Hari keempat tentang investasi di Indonesia, dan pada hari terakhir adalah forum untuk arbitrator muda.
Adapun sebagai pembicara selain IBR Supancana, yaitu Peter Malanczuk dan Zhao Yun yang keduanya adalah pengajar dari Hong Kong University, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, Chair for Practive Group of Asean Legal Alliance Steve Ngo, dan lainnya.
“Tema-tema tersebut dibikin untuk mengantisipasi jaman terutama menghadapi perkembangan revolusi industri 4.0. Seperti perkembangan fintech dan start up itu semakin pesat dan sekarang sudah transaksionalnya lintas border maka kebutuhan penyelesaian sengketa lebih cepat dibutuhkan dengan kehadiran teknologi,” ujarnya.