Bisnis.com, JAKARTA - Komisioner KPK diminta untuk fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum masa baktinya berakhir tahun ini.
Hasanudin, pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padjajaran mengatakan bahwa ditandatangani atau tidak oleh Presiden, UU KPK yang baru tetap akan berlaku.
Dalam rentang waktu sejak disahkan oleh DPR belum lama ini, terjadi pro kontra, termasuk penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang menurutnya merupakan bagian dari solusi yang prosedural.
“Dalam batas dan ruang lingkup penyelesaian polemik ini, ada baiknya Komisioner KPK fokus pada penyelesaian pekerjaan sampai 21 Desember 2019. Tuntaskan penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan penindakan yang sudah diagendakan. Biarlah hal-hal lain menjadi tugas komisioner baru,” ujarnya, Sabtu (5/10/2019).
Menurutnya, komisioner lama yang masih bertugas saat ini, sebaiknya mengundang komisioner baru untuk berdiskusi soal agenda penting yang perlu dilanjutkan, sehingga terjadi kesinambungan dalam agenda pemberantasan korupsi.
“Komisoner baru perlu diperkuat, jangan malah didelegitimasi oleh komisoner yang ada. Tidak baik bagi kewibawaan KPK ke depan. Sama-sama diseleksi Presiden dan DPR ya harus saling menguatkan,” tuturnya.
Sementara itu, desakan publik agar Presiden segera menerbitkan Perppu terus menguat. Sejumlah tokoh seperti Mahfud MD, Buya Syafi'i Ma'rif, Franz Magnis Suseno dan tokoh lainnya sempat mendatangi istana pada 26 September 2019. Mereka membicarakan isu nasional termasuk usulan Perppu KPK.
Namun, sepekan terakhir, setelah pembicaraan itu muncul isu-isu yang menyesatkan. Mulai dari opini soal Perppu inkonstitusional hingga wacana bahwa presiden bisa dimakzulkan bila terbitkan Perppu.
"Untuk itu kami bermaksud meluruskan berbagai pendapat yang keliru tersebut dan terus mendukung Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu," kata Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara sekaligus perwakilan para tokoh nasional tersebut.
Bivitri menegaskan bahwa Perppu merupakan langkah konstitusional menurut pertimbangan subjektif presiden. Hal itu, kata Bivitri, tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan presiden.