Bisnis.com, JAKARTA--Aksi demonstrasi mahasiswa yang dilaksanakan di depan gedung DPR RI, Senin (30/9/2019) berakhir ricuh.
Selain melakukan tindakan represif terhadap mahasiswa dan siswa Sekolah Tinggi Menengah (STM), aparat polisi juga melakukan kekerasan kepada jurnalis yang sedang bekerja meliput aksi. Haris Prabowo, jurnalis media online Tirto.id menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Haris mengungkapkan kejadian tersebut bermula pada Pukul 18.56 WIB. Dia bersama beberapa rekan wartanwan berada di bawah Flyover Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Polisi berhasil memukul massa pelajar. Area jadi steril dari massa aksi.
Tiba-tiba ada perdebatan atau cekcok antara para anggota marinir AL di dalam area RS Gigi dan Mulut LAKDOGI TNI AL RE Martadinata yang berada dekat dengan lokasi tersebut. Adu mulut terjadi antara anggota TNI dengan para polisi di luar rumah sakit.
"Mundur, Pak, mundur. Ini rumah sakit. Jangan sampe ke sini lagi," ucap Haris kala menirukan perkataan salah seorang anggota TNI di lokasi seperti dituturkan kepada Bisnis, Selasa (1/10/2019).
Adu mulut terus berlanjut bahkan dengan menggunakan bahasa kasar. Haris dan dua wartawan lainnya mencoba mendekat untuk mengetahui duduk perkara tersebut. Tiba-tiba dari salam RS, beberapa anggota TNI AL berteriak-teriak. Seperti agar bermaksud saya dan dua wartawan lainnya "diamankan."
Oknum TNI AL tersebut menghardik wartawan yang sedang meliput di lokasi kejadian.
"Heh, Pak, media. Media, media, media. Kamera iku, Pak. Ambil, ambil, ambil. Woy! Ambil semua," teriak anggota TNI AL.
Haris pun berjalan menjauh dari tempat perselisihan. Namun, ada satu anggota polisi berseragam bebas bertanya media tempat Haris bekerja. Haris mengaku sudah menjelaskan dirinya berasal dari media Tirto.id dan sejak Senin sore hari berada di DPR RI.
Tak terima dengan pernyataan tersebut, polisi memaksa memeriksa Haris. Aparat tidak percaya meskipun dia telah menunjukkan kartu pers dan bukan bagian dari aksi massa. Lebih lanjut, salah seorang polisi menyuruh Haris membuka tas. Dua orang anggota polisi lainnya yang tak memakai seragam memegang badan sambil membuka tas kerja Haris.
Pada mulanya, polisi hanya menemukan kabel charger, roti, dan dompet di tas bagian dalam. Namun, di bagian depan, mereka menemukan dua selongsong gas air mata--satu berwarna abu-abu, satu lagi merah. Polisi bertanya mengapa ada selongsong. Haris menjelaskan selongsong gas air mata tersebut itu untuk tugas reportase karena diminta oleh kantor.
"Polisi tanya Ini buat apa? Saya jawab buat laporan di kantor," jelasnya.
"Yaudah dibawa aja dulu ke Resmob DPR sana," kata salah seorang polisi yang agak lebih tua. Dia bertanya ke mana wartawan lainnya tadi yang sempat mendengar dan mengambil momen cekcok di RS.
Haris akhirnya dibawa dua orang polisi, baik yang berseragam atau tidak, tadi dengan keadaan di-piting seraya berjalan menuju DPR RI, yang jaraknya 500 meter dari Flyover Bendungan Hilir.
Sepanjang perjalanan, ketiga jurnalis melewati beberapa kali massa polisi sedang beristirahat dan menyoraki saya, bahkan beberapa orang Brimob sudah bersiap memegang pentungan, seolah Haris dan dua wartawan seorang kriminal. Untungnya, dua orang polisi yang membawa berusaha melindungi.
Ketika hendak sampai gerbang DPR RI. Salah satu seorang polisi yang membawa Haris meminta handphone untuk diamankan. Namun, Haris menolak.
"Masa hape saya dipegang [polisi] sih? Ini hak saya lho," kata Haris membela diri.
"Iya, iya, bapak pegang. Kita ngamanin. Bukan apa-apa. Nanti kalau bapak ada apa-apa kan, lebih baik kita amanin dulu kan," kata salah seorang polisi.
Menuju pintu DPR RI, beberapa wartawan yang memang meliput di gedung dewan menyadari dirinya yang sedang digiring polisi. Wartawan tersebut lantas memanggil-manggil nama Haris.
Meski demikian, Haris tetap dibawa ke arah pos polisi. Para wartawan mengikuti dari belakang. Polisi meminta Haris diam dan dipaksa masuk ke dalam mobik tahanan. Namun, Haris menolak karena tidak bersalah.
"Ngapain kamu bawa selongsong? Untuk apa?" kata salah seorang polisi yang tua di sana.
"Saya buat bahan liputan di kantor. Memang ada aturan yang melarang selongsong enggak boleh dibawa?" Ujar Haris membalas polisi tersebut.
Beberapa wartawan juga mencoba membantu meyakinkan polisi kalau membawa barang-barang seperti itu lumrah di dunia jurnalisme, apalagi untuk bahan liputan mendalam dan investigasi. Akhirnya, setelah debat panjang, kartu pers, KTP, dan wajah saya difoto. Setelah itu, Haris pun dilepaskan oleh polisi.