Bisnis.com, JAKARTA – Brexit tanpa kesepakatan kemungkinan besar akan menyebabkan resesi, inflasi di atas target dan pemotongan suku bunga Bank Sentral Inggris (BOE) pada 2020.
House of Commons telah mengeluarkan undang-undang yang menuntut agar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengajukan penundaan Brexit hingga akhir Januari 2020 untuk menghindari no-deal Brexit pada 31 Oktober.
Kebijakan ini diambil sebagai bentuk antisipasi seandainya tidak ada kesepakatan Brexit yang dapat dicapai selama KTT Uni Eropa pada 17-18 Oktober.
Jika tidak ada kesepakatan yang tercapai, Johnson sudah menyiapkan skenario no-deal Brexit, yang bertentangan dengan undang-undang yang dirancang Parlemen untuk memaksanya mengajukan perpanjangan batas waktu.
“Jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan pada Januari akan memberikan pukulan bagi ekonomi, meskipun dampaknya tidak separah jika no-deal Brexit terjadi pada 31 Oktober,” ujar ekonom senior Bloomberg Economics Dan Hanson, seperti dikutip melalui Bloomberg, Jumat (27/9/2019).
Bloomberg Economics memperkirakan ekonomi Inggris akan terkontraksi sebesar 0,2 persen pada 2020 menyusul proyeksi pertumbuhan sebesar 1,2 persen untuk tahun ini, sedangkan pelemahan poundsterling dan perubahan kenaikan perdagangan tarif akan mengangkat inflasi menjadi 2,8 persen.
Menurut Hanson, prospek yang muram untuk Inggris pascaterpisah dari Uni Eropa serta ketidakpastian tentang hubungan masa depan dengan blok perdagangan tersebut hanya akan menyebabkan kelemahan lebih lanjut dalam investasi bisnis.
Dia juga menyebutkan bahwa dengan kombinasi kenaikan tajam dalam inflasi dan kenaikan moderat terhadap angka pengangguran dapat memicu pelemahan konsumsi masyarakat.
Pukulan ini kemungkinan besar akan menggerakkan BOE untuk memangkas suku bunga pada kisaran 50 basis poin menjadi 0,25 persen.
Pemangkasan selanjutnya hingga tepat di atas nol, perkiraan BOE untuk batas bawah suku bunga, diperkirakan akan mengikuti pada kuartal kedua.
“Kami juga mengantisipasi pemerintah akan memberikan beberapa dukungan fiskal yang lebih besar di samping stimulus eksisting yang dikeluarkan baru-baru ini,” tulis Hanson.
PARLEMEN DIBUKA
Parlemen Inggris kembali dibuka pada Rabu (25/9) setelah pengadilan memutuskan bahwa pembekuan parlemen oleh Johnson dianggap tidak sah.
Selama kurang dari tiga bulan menjabat sebagai perdana menteri, Johnson bersikeras bahwa dia akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober, dengan atau tanpa kesepakatan.
Namun strategi yang berisiko merusak ekonomi Inggris tersebut ditolak oleh anggota parlemen yang kini memiliki banyak kesempatan untuk mmengacaukan rencana London.
Dengan diskusi kesepakatan yang tertunda, Uni Eropa kini memperkirakan bahwa Brexit, sekali lagi, akan ditunda. Setelah sebelumnya ditetapkan pada 31 Maret dan diperpanjang menjadi 31 Oktober.
“Kami mendukung perpanjangan waktu dengan catatan apakah nantinya akan ada pemilihan umum, referendum kedua, atau perjanjian penarikan diri,” ujar Guy Verhofstadt, seorang anggota parlemen Uni Eropa yang berurusan dengan Brexit.
Brexit sangat membebani anggaran jangka panjang Uni Eropa yang dimulai pada 2021.
Beberapa diplomat Uni Eropa mengatakan tidak akan ada lagi perpanjangan di luar pertengahan 2020, batas waktu bagi blok tersebut untuk memiliki kejelasan tentang apakah Inggris masih akan terlibat dalam penyusunan anggaran.