"Tak ada berita seharga nyawa"
Kalimat itu terngiang saat demonstrasi berakhir ricuh di depan pintu utama Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, Selasa 24 September 2019.
Mata saya tetiba perih. Napas tersengal. Pandangan buram. Dipaksa mengeluarkan air mata, tapi tak bisa. Kondisi ini saya alami setelah polisi menembakkan tear gas atau gas air mata ke arah massa.
Tidak ada hal lain yang dapat saya pikirkan kecuali berlindung dan mencari pasta gigi. Entah apa gunanya. Melihat beberapa polisi dan mahasiswa saling mengoleskan odol di sekitar kantung mata, saya ikutan.
Berbekal odol dari seorang mahasiswa, saya gunakan untuk mengoleskannya ke bawah kantung mata. Tapi efek gas air mata tak juga hilang. Malah terasa semakin perih.
Baca Juga
Dalam kondisi ini, tembakan gas air mata kian menjadi-jadi. Saya dan beberapa jurnalis lain baru sadar rupanya sudah terjebak di antara dua kubu: massa dan polisi. Saat itu, kami berada di sisi kiri pintu DPR atau posisi sebelah kanan gerbang dari pandangan massa.
Satu sisi saya ingin segera masuk ke area DPR. Tapi, tak ada jaminan usaha itu menuai hasil baik. Pasalnya ratusan Brimob dengan perlengkapan anti huru hara tengah sibuk menghalau berbagai benda yang dilempar massa.
Di sisi lain, membaur dengan para demonstran juga bukan pilihan tepat. Bisa-bisa saya dianggap bagian dari massa. Akan lebih berbahaya pada akhirnya.
Benar saja. Baru selintas berfikir demikian, dua ledakan terdengar cukup dekat dengan saya. Entah apa itu. Tak ada proyektil. Hanya suara. Tapi cukup keras. Beberapa detik berselang, lemparan batu juga nyaris mengenai kepala saya.
"Woi jangan kau lempar ke sini. Wartawan, wartawan," kata saya kompak bersama seorang jurnalis CNN. Saya tak ingat namanya. Namun kami kemudian terpisah. Dia memilih berlari ke arah massa mencari perlindungan.
Dalam kondisi seperti ini, ID Pers yang selalu tergantung di leher sama sekali tidak menjamin keselamatan. Kartu itu tidak sakti-sakti amat. Paling penting adalah bagaimana jurnalis tanggap dan mengutamakan keselamatan diri sebelum melaporkan situasi untuk pembaca atau pemirsa.
Feni Freycinetia Fitrian, kolega di Bisnis Indonesia juga turut serta dalam aksi kemarin. Baginya, dalam situasi chaos, wartawan tidak dapat kabur dari kejaran aparat, lemparan batu atau tembakan gas air mata.
Dia bersama beberapa jurnalis langsung mencari tempat aman saat situasi mulai runyam. Semula Feni memilih berlindung di bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di dekat gedung DPR. Sambil berlindung, barulah dia melaporkan kabar bahwa mulai ada tembakan gas air mata ke arah massa.
Feni turut serta merasakan terkena gas air mata. "Setelah selesai menelpon atasan, mahasiswa mulai berteriak karena polisi mulai memperluas area tembakan gas air mata," ceritanya.
"Kalau ada yang bertanya, bagaimana rasanya terkena gas air mata. Saya akan mencoba memberikan gambaran. Bayangkan ketika kau sedang makan bakso yang super pedas, lalu tiba-tiba tersedak dan mata mu panas terkena cipratan sambal," terangnya.
Dia menyadari bagaimana kondisi di lapangan yang cukup dinamis lantaran banyaknya massa. Dalam situasi ini turut menuntut jurnalis mesti memasang mata dan telinga dengan baik guna melaporkan kabar terkini tapi tak lupa keselamatan diri.
Sementara itu, Drean Muhyil Ihsan, wartawan Gatra, sadar betul berada di belakang polisi selama demonstrasi tak menjamin keselamatan saat meliput. Pengalamannya pada aksi demonstrasi di Sarinah 21 - 22 Mei menjadi pelajaran berharga baginya.
Saat itu, Drean menjadi salah satu sasaran aparat saat sedang meliput. Tindakan yang dialaminya mengganggu kepercayan diri ketika meliput demonstrasi atau unjuk rasa di kemudian hari, termasuk kerusuhan kemarin.
"Berada di barikade polisi juga kita tak merasa aman. Malah lebih aman di posisi massa dibandingkan sama polisi. Karena polisi seenaknya melakukan tindakan bahkan ketika mencoba mendokumentasikan perbuatan mereka menghakimi aksi massa," katanya.
"Belajar dari peristiwa 21 - 22 Mei, akhirnya ketika ada bentrokan sebisa mungkin ditahan. Padahal kita [jurnalis] gatal rasanya untuk mengabadikan momen, terutama saat ambil gambar yang bahaya. Kalau wartawan tulis mereka kurang perhatikan."
SAFETY JOURNALIST
Sekolah jurnalistik Muharram Journalist Collage di Banda Aceh memberi rumusan menarik untuk penulisan berita straight news. Rumusan itu adalah 5 W + 1 H + 1 S. Barang tentu orang tahu unsur sederhana 5 W + 1 H. Tapi mereka sengaja menempatkan 1 S sebagai salah satu pokok.
Dia adalah safety. Peliputan semenarik dan seheroik apapun tetap harus menempatkan keselamatan diri sebagai salah satu bagian utama. Berita tidak akan sampai ke pembaca atau bahkan meja redaksi jika nyawa si jurnalis berada dalam bahaya.
Safety Journalist sudah jauh-jauh hari diterapkan oleh organisasi wartawan baik dalam maupun luar negeri. Akan tetapi tidak ada yang menjamin seluruh wartawan menempatkan standar itu dalam tiap melakukan tugas jurnalisme.
Perlahan jurnalis memang perlu menempatkan faktor keselamatan dalam salah satu rule peliputan. Apalagi ketika meliput konflik atau situasi kerusuhan. Pasalnya tidak ada pihak yang dapat menjamin keselamatan pers dari ancaman bahaya.
Buktinya, beberapa teman jurnalis mengalami perlakukan negatif saat meliput kemarin. Mulai dari mendapat perlakuan kasar dari oknum yang diduga berasal dari aparat hingga tindakan menghalang-halangi tugas sesuai UU Pers oleh oknum kepolisian.
FOTO : Abdullah Azzam