Bisnis.com, JAKARTA -- Laju ekonomi China yang melambat pada Agustus 2019 mengindikasikan bahwa paket stimulus eksisting tidak cukup untuk memberikan jaminan perlindungan dari dampak perang perdagangan yang memburuk dengan Amerika Serikat.
Data yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional menunjukkan bahwa output industri naik sebesar 4,4% dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan estimasi median 5,2%.
Sementara itu, penjualan ritel meningkat sebesar 7,5%, dibandingkan dengan proyeksi kenaikan 7,9%. Investasi aset tetap (fixed-asset) melambat menjadi 5,5% dalam delapan bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan perkiraan 5,7%.
Pembacaan output industri Agustus ini merupakan capaian angka bulanan terendah sejak 2002, jika dibandingkan dengan hasil gabungan Januari-Februari 2009 yang lebih rendah. China menggabungkan beberapa data statistik karena liburan Tahun Baru Imlek.
Data tersebut memberikan bukti lebih lanjut bahwa upaya para pembuat kebijakan untuk mengerem perlambatan ekonomi tidak cukup kuat, karena negara ini menghadapi kekuatan struktural di dalam negeri dan kemungkinan tarif ekspor ekspor ke AS yang lebih tinggi.
"Laju perlambatan ekonomi lebih cepat dari yang diharapkan dan dampak perang dagang terhadap produsen China relatif besar," kata Peiqian Liu, ekonom China di Natwest Markets Plc di Singapura, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (16/9/2019).
Ke depan mungkin akan menyiapkan lebih banyak langkah pelonggaran termasuk pemotongan rasio cadangan bank dan suku bunga pinjaman jangka menengah PBOC, meskipun pemotongan itu mungkin tidak akan terjadi pekan ini.
PBOC telah memangkas rasio cadangan bank bulan ini ke tingkat terendah sejak 2007, tetapi bank sentral masih menahan langkah untuk mengurangi bunga pinjaman.
Para negosiator dari China dan AS berencana untuk melakukan dua putaran negosiasi tatap muka dalam beberapa pekan mendatang.
Sejumlah sumber menyampaikan bahwa kedua belah pihak telah mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan itikad baik, dan pejabat AS sedang mempertimbangkan penawaran kesepakatan sementara untuk menunda tarif dengan China.
"Rendahnya penjualan ritel sangat mengkhawatirkan. Untuk menstabilkan pertumbuhan, beberapa bulan ke depan kita akan melihat upaya kebijakan yang lebih agresif," kata Raymond Yeung, kepala ekonom kawasan China di ANZ Banking Group Ltd.
Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan dalam sebuah wawancara sebelum data output dirilis bahwa akan sangat sulit bagi ekonomi China untuk terus tumbuh pada 6% atau lebih dan mengakui adanya tekanan ke bawah.
"Tekanan tersebut terjadi karena melambatnya pertumbuhan global serta meningkatnya proteksionisme dan unilateralisme," ujar Li dalam sebuah wawancara dengan media Rusia yang dipublikasikan di situs web pemerintah China, gov.cn., seperti dikutip melalui Reuters.
Produk domestik bruto Cina (PDB) tumbuh 6,3% pada paruh pertama tahun ini, dan Li mengatakan ekonomi secara umum tetap stabil dalam 8 bulan pertama tahun ini.
"Bagi China untuk mempertahankan pertumbuhan 6% atau lebih sangat sulit mengingat latar belakang situasi internasional yang rumit saat ini dan basis yang relatif tinggi, dan angka ini berada di garis depan ekonomi terkemuka dunia," kata Li.
Analis mengatakan pertumbuhan ekonomi China kemungkinan akan mengalami pelemahan lebih lanjut pada kuartal ini dari level terendah dalam 30 tahun, sebesar 6,2% pada kuartal kedua.
Pemerintah China telah meningkatkan dukungannya, melalui pengumuma pada 6 September terkait pemotongan dalam rasio persyaratan cadangan (RRR) untuk ketiga kalinya tahun ini, melepaskan likuiditas sebesar 900 miliar yuan ke dalam perekonomian.