Bisnis.com, JAKARTA - Proses revisi Undang-Undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan-akan dibuat tertutup dan dikebut.
Revisi UU KPK sebelumnya disepakati semua fraksi sebagai RUU atas usulan inisiatif badan legislatif DPR untuk kemudian dibahas bersama pemerintah pada Kamis (5/8/2019).
Sementara, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR pada Rabu (11/9/2019). Padahal, menurut UU, Jokowi memiliki waktu 60 hari.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengaku heran dengan proses yang begitu cepat dan seakan-akan tertutup dan dikebut tersebut. Contohnya, kata dia, terlihat ketika diusulkan Baleg DPR dan diproses di Paripurna. Pendapat para fraksi pun dinilai tidak terbuka lantaran disampaikan secara tertulis.
"Mengapa revusi UU KPK itu seakan akan dikebut dan dibuat tertutup prosesnya? Itu kami sesalkan," ujar Laode, Kamis (12/9/2019).
Laode tak mau menuding terkait tertutupnya proses revisi KPK tersebut, namun mempertanyakan soal di balik kegentingan revisi UU KPK.
"Ada kegentingan apa? Sehingga hal itu dibikin seakan-akan tertutup. Bukan saya katakan, betul-betul tertutup antara Pemerintah dan DPR," ujar Laode.
Laode juga seolah menyesalkan ketika Jokowi terlihat terburu-buru mengirimkan Surpres ke DPR, setelah menerima pendapat fraksi pada Kamis pekan lalu. Padahal, Jokowi memiliki waktu 60 hari untuk memikirkan revisi UU KPK.
"Tetapi tidak lama kemudian langsung surat persetujuannya dikirim lagi ke DPR."
KPK selaku lembaga pelaksana UU seharusnya dapat tembusan Surpres yang dikirim oleh Jokowi ke DPR sehingga pihaknya bisa menilai dan mendalami lebih jauh soal draf revisi UU KPK.
Laode juga menyinggung bahwa negara Indonesia selaku negara demokrasi seharusnya menjunjung tinggi nilai transparansi.
"Oleh karena itu kita harus meminta kepada DPR dan pemerintah untuk mentransparankan semuanya. Semoga saja tidak ada sesuatu yg disembunyikan di dalam proses revisi UU KPK ini."