Kabar24.com,JAKARTA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memandang perlunya penyederhanaan prosedur impor bawang putih karena rantai panjang proses impor membuka celah korupsi dan persaingan usaha tidak sehat.
Taufik Aryanto, Deputi Bidang Pengkajian Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan bahwa pihaknya melakukan kajian perihal tata niaga bawang putih setelah terjadi lonjakan harga komoditas tersebut di pasar pada Februari—Mei 2019.
“Semula kami menduga bahwa harga yang tinggi itu disebabkan oleh tidak adanya impor Januari—April 2019, perubahan tata kebijakan importasi serta memberikan market power bagi importir, hambatan pasokan ke pasar yang dilakukan importer pada awal 2019 dan potensi persaingan tidak sehat di mana pelaku membatasi peredaran atau penjualan pada pasar,” ujarnya, Senin (12/8/2019).
Dari situ, pihaknya merangkai runtutan penyebab terjadinya lonjakan harga yang tinggi dikarenakan terlambatnya rencana impor produk holtikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian serta surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Pertanian.
Hal menarik, lanjutnya, keterlambatan penerbitan itu kerap terjadi setiap pergantian tahun sehingga pada awal tahun harga bawang putih selalu melonjak tinggi.
“Pada Desember 2018, tercatat 24 importir yang sudah memperoleh SPI dan merealisasikan volume impor mendekati kuota yang diprediksi bisa memenuhi pasokan Januari—April 2019. Pada Januari-Maret 2019, tidak ada penerbitan RIPH dan SPI walah terdapat pengajuan dari importir selama periode tersebut. Pada bulan-bulan itu terjadi peningkatan harga padahal di negera asalnya, justru terjadi penurunan harga,” urainya.
Baca Juga
Adapun margin bruto, belum termasuk biaya penyusutan, distribusi dan tenaga kerja dari perdagangan bawang putih di Indonesia dalam periode Januari 2018 hingga Mei 2019 berkisar antara Rp352,21 juta hingga Rp2,4 triliun dengan rerata margin sebesar Rp672,5 juta.
Secara akumulatif, margin bruto Januari—Desember 2018 sebesar Rp8,6 triliun dengan total realisasi sebesar 577.501 ton. Sementara itu, margin pada April—Mei 2019 sebesar Rp2,2 miliar dengan volume impor 56,2 juta.
KPPU, lanjutnya, juga menemukan fakta bahwa selama 3 tahun sejak 2015-2018, terjadi penurunan impor pada periode Januari—Maret.
Hal ini dapat diperinci pada 2015, jumlah impor mencapai 77,6 juta ton. Setahun berikutnya turun menjadi 77,2 juta, lalu pada 2017 jumlah impor sebesar 60,9 juta dan pada 2018 anjlok menjadi 3,9 juta ton.