Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tak Patuhi WTO, AS Bisa Kena Sanksi China

Amerika Serikat tidak sepenuhnya mematuhi putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bisa menghadapi sanksi China, jika tidak menghapus tarif tertentu yang melanggar aturan organisasi tersebut, menurut hakim WTO dalam putusannya kemarin
Director-General World Trade Organization Roberto Azevedo menyampaikan pandangannya saat Trade Conference Session 1: Introductory Remarks pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di Laguna, Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018)./ANTARA-Jefri Tarigan
Director-General World Trade Organization Roberto Azevedo menyampaikan pandangannya saat Trade Conference Session 1: Introductory Remarks pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di Laguna, Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018)./ANTARA-Jefri Tarigan

Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat tidak sepenuhnya mematuhi putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bisa menghadapi sanksi China, jika tidak menghapus tarif tertentu yang melanggar aturan organisasi tersebut, menurut hakim WTO dalam putusannya kemarin

China menggugat AS ke WTO pada 2012 terkait pengenaan tarif anti-subsidi atas ekspor China termasuk panel surya, menara angin dan tabung yang nilainya ekspornya mencapai US$7,3 miliar pada waktu itu.

Utusan Kementerian Perdagangan (USTR) Robert Lighthizer mengatakan bahwa putusan WTO telah mengakui bahwa Amerika Serikat telah membuktikan kalau China menggunakan perushaan badan usaha milik negara (BUMN) untuk mensubsidi dan mendistorsi ekonominya.

Tetapi putusan itu juga menyatakan Amerika Serikat harus mematuhi harga produk China untuk menghitung subsidi, meskipun USTR memandang harga-harga itu "terdistorsi".

"Kesimpulan ini mengabaikan temuan Bank Dunia, kertas kerja OECD, survei ekonomi, dan bukti obyektif lainnya yang dijadikan acuan," menurut pihak AS seperti dikutip Reuters, Rabu (17/7/2019).

"Laporan terkait gugatan ke WTO merusak aturan WTO, membuatnya kurang efektif untuk menangkal subsidi BUMN China yang merugikan pekerja dan bisnis AS serta mendistorsi pasar di seluruh dunia," tambahnya.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan China menyatakan laporan dari hakim di WTO membuktikan AS telah berulang kali menyalahgunakan langkah-langkah pemulihan perdagangan, yang secara serius merusak keadilan dan ketidakberpihakan lingkungan perdagangan internasional.

Pernyatan itu diposting Selasa (16/7/2019)  malam di situs resmi Kementerian Perdagangan.

Di bawah Presiden Donald Trump, Amerika Serikat telah memblokir proses untuk menunjuk anggota Majelis Banding WTO, yang secara efektif merupakan pengadilan tertinggi untuk perdagangan dunia.

Badan Banding

Majelis Banding biasanya memiliki tujuh anggota dan perlu tiga orang untuk mempertimbangkan setiap kasus. Akan tetapi mulai 11 Desember hanya ada satu hakim yang tersisa, kata kepala perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom pada Selasa (16/7/2019).

Pernyataan USTR mengatakan bahwa hasil bandingnya menggambarkan keprihatinan yang dimilikinya tentang Badan Banding, yang dituduhnya melanggar aturan prosedural dan melampaui kewenangannya.

Jika China berupaya menjatuhkan sanksi dalam perselisihan, China perlu memasuki babak baru argumen hukum atas nilai kerusakan perdagangannya.

Sengketa ini berpusat pada 17 investigasi yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan AS antara 2007 dan 2012.

Produk yang bersangkutan adalah panel surya, menara angin, kertas termal dan dilapisi, penarik rumput di belakang, rak dapur, bak cuci baja, asam sitrat, batu bata karbon magnesia, pipa tekanan, pipa saluran, pipa seamless, silinder baja, pipa bor, minyak barang tubular negara, untai kawat dan aluminiumekstrusi.

Tak lama setelah putusan WTO dirilis, Presiden AS Donald Trump mempertanyakan kegagalan China untuk memperbaiki apa yang dilihatnya sebagai janjinya untuk membeli lebih banyak barang pertanian AS, dan mengatakan Washington dapat mengenakan tarif pada barang-barang China senilai US$ 325 miliar tambahan jika diperlukan.

Dua ekonomi terbesar di dunia telah memperebutkan masalah perdagangan secara intens selama setahun terakhir, dan melanjutkan pembicaraan untuk mencapai kesepakatan bergerak lebih lambat dari yang diharapkan .

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper