Bisnis.com, JAKARTA -- Meskipun perbaikan hubungan antara AS dan China disambut baik oleh pasar keuangan, tidak demikian dengan para ekonom.
Menyusul pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 Osaka, Jepang pada pekan lalu, Presiden AS Donald Trump berjanji untuk menunda rencana penetapan bea tambahan pada impor China senilai US$300 miliar dan membuka kembali akses bagi perusahaan AS untuk melanjutkan bisnis dengan Huawei Technologies Co.
Saham di Asia menguat di tengah perayaan cairnya hubungan AS-China, bersamaan dengan kenaikan pada ekuitas berjangka AS dan yuan. Sementara itu, tresuri, emas dan mata uang safe-haven seluruhnya melemah.
Nada yang sangat berbeda mewarnai sejumlah catatan penelitian para ekonom setelah pertemuan Trump dan Xi berlangsung. Para analis tidak yakin apakah gencatan senjata akan membantu menyelamatkan data perdagangan dan pertumbuhan global yang terus terkontraksi.
Raymond Yeung, Kepala Ekonom untuk kawasan China di Australia & New Zealand Banking Group Ltd., mengatakan hasil dari pertemuan di Osaka tidak ada bedanya dengan pertemuan di Buenos Aires pada tahun lalu.
"Kita bisa saja mengubah tanggal dan menerbitkan kembali laporan lama dari KTT G20 pada Desember 2018. AS kembali menahan tarif baru dengan imbalan pembelian produk pertanian China. Namun, AS tidak berjanji bahwa mereka tidak akan meningkatkan kebijakan perdagangannya," tulis Yeung seperti dilansir Bloomberg, Senin (1/7/2019).
Baca Juga
Senada, dalam catatan Citigroup turut dituliskan bahwa gencatan senjata perang dagang AS-China sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, ini bukan berarti para investor dan pembuat kebijakan dapat bernafas lega karena belum ada solusi pasti.
Menurut Ekonom Citigroup Cesar Rojas dan Kepala Ekonom Global Catherine Mann, kesepakatan yang dicapai di Osaka hanyalah penundaan sementara. Dampaknya pada ekonomi riil sedang berlangsung, baik dari segi kebijakan tarif maupun ketidakpastian dari potensi eskalasi perang dagang.
"Baik AS maupun China tidak melaporkan bahwa perselisihan yang terjadi pada perundingan Mei 2019 telah atau akan segera terselesaikan," ujar Kepala Analisis Perdagangan Internasional ING Raoul Leering dan Ekonom kawasan China ING Iris Pang dalam sebuah laporan.
Keduanya juga menuliskan bahwa masih banyak aspek dari kesepakatan tersebut yang harus diperbaiki untuk menghindari ketidaksepahaman kembali terjadi. Apalagi, kesepakatan yang dicapai pada pekan lalu tidak jauh berbeda dengan hasil pertemuan pada KTT G20 2018.
Ahli strategi FX dan suku bunga DBS Group Research, Philip Wee dan Eugene Leow, menyampaikan bahwa tidak seperti gencatan senjata sebelumnya, kali ini optimisme bahwa dua ekonomi terbesar di dunia tersebut dapat mengatasi perbedaan untuk mencapai sebuah kesepakatan sangat rendah.
"Bisnis dan konsumen kemungkinan akan berhati-hati, mereka menjadi lebih waspada bahwa perundingan dapat kembali terhambat dan diakhiri dengan lebih banyak tarif AS sebesar 10 persen atau 25 persen untuk sisa impor China senilai US$325 miliar," papar keduanya dalam sebuah laporan.