Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menjadi tradisi dalam pemilu.
Langkah ini diambil pasangan calon presiden-wakil presiden yang kalah sejak 2004.
"MK seolah-olah menjadi tradisi pemilu dan ketatanegaraan kita sebagai saluran keberatan terhadap hasil pemilu oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum)," kata Titi dalam diskusi Polemik Trijaya di D'Consulate, Jakarta, Sabtu (25/5/2019).
Titi menjelaskan, MK telah menangani sengketa hasil pemilihan sejak pilpres langsung yang pertama pada 2004. Saat itu ada lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi, yaitu Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Saat pilpres 2004 dimenangkan pasangan SBY-JK, Titi mengatakan paslon yang kalah, seperti Megawati dan Wiranto, juga menggugat ke MK.
Pada Pemilu 2009, ada tiga paslon yang bertarung, yaitu SBY-Boediono, Megawati-Prabowo Subianto, dan JK-Wiranto.
Pasangan SBY-Boediono keluar menjadi pemenang, dan paslon yang kalah juga mengajukan gugatan ke MK.
Pada 2014, ada tiga paslon yang bertarung, yakni Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-JK. Merasa ada kecurangan, Prabowo-Hatta menggugat hasil pilpres tersebut ke MK.
Dalam sejarahnya, gugatan para pemohon yang bersengketa terhadap hasil pilpres tidak pernah dikabulkan MK.
Titi menilai, hal itu bukan berarti yang menggugat selalu mengalami kekalahan. Tetapi pemohon selalu tidak berhasil membuktikan dalilnya. Sebab, dalil pemohon atau yang menjadi keberatan bukan lah angka yang ditetapkan KPU.
"Tapi menyasar ke kompetitor bahwa lawan curang, KPU enggak profesional. Yang mempersoalkan proses rekapitulasi, salah jumlah, bukan jumlah sebenarnya dalam konteks hitung-hitungan hampir bisa dikatakan sangat minim," katanya.
Titi juga melihat pola yang sama terkait keberatan para pemohon selalu terjadi sejak pemilu 2004 hingga saat ini.
Misalnya daftar pemilih tetap (DPT) yang disebut bermasalah karena ditetapkan tidak dengan kredibel, valid, dan akurat, sehingga mempengaruhi keterpilihan dan membuat suara paslon tersebut dirugikan.
Selain itu, pola lainnya adalah terkait kebijakan inkumben yang membuat pemilih tidak bisa memberikan suara dengan jujur dan adil.
Untuk memperkuat dalil dalam sengketa pemilu, Titi menyarankan agar pemohon memiliki alat bukti yang banyak, seperti dokumen, ahli, saksi, petunjuk, dan keterangan pihak terkait. Masalahnya, kata Titi, MK di awal menangani sengketa pemilu bertindak seperti mahkamah kalkulator.
"Dari banyak putusan MK tidak menampik ada maladministrasi pemilu, tapi dampaknya tidak mempengaruhi hasil, sehingga karena tidak pengaruhi hasil, tidak dikabulkan MK," kata Titi.