Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Tim Penasihat Hukum tersangka Muhammad Romahurmuziy, Maqdir Ismail mengungkap beberapa poin kesalahan prosedur yang telah dilakukan penyidik KPK saat menangkap kliennya di Surabaya Jawa Timur.
Kesalahan pertama, yaitu KPK menyadap kliennya tanpa ada surat perintah resmi dari pimpinan KPK. Maqdir menduga KPK tengah menyelidiki kasus orang lain dengan cara disadap, tetapi bukan orang lain yang ditangkap melainkan kliennya dan hal itu merupakan kesalahan fatal karena bisa merusak sistem hukum di Indonesia.
"Sepanjang yang kami tahu, bahwa mungkin saja KPK sudah menyelidiki orang lain, tetapi digunakan penyelidikan orang lain ini untuk menangkap Pak Romy. Jelas ini tidak bisa dibenarkan," tuturnya, Senin (6/5/2019).
Kesalahan kedua, yaitu penyelidik KPK melakukan tangkap tangan kliennya seorang diri, tanpa ada komunikasi dengan polisi setempat. Padahal, menurut Maqdir, sesuai KUHAP, jika ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, institusi itu seharusnya berkoordinasi dengan Polda Jawa Timur untuk membantu penangkapan.
"KUHAP itu menyebutkan kalau terjadi tangkap tangan, seharusnya diserahkan kepada penyidik terdekat seperti Polda Jawa Timur dan serahkan penangkapan itu ke penyidik Polda. Tetapi hal ini tidak dilakukan KPK," katanya.
Kesalahan ketiga, KPK tidak pernah melakukan pencegahan ke Rommy , artinya KPK membiarkan kliennya itu menerima uang dari orang lain, sehingga ada perbuatan tindak pidana pada peristiwa itu.
"Misalnya dalam perkara pembunuhan, masa orang dibunuh dulu baru dilakukan pencegahan. Nah, ini bagi kami tidak dilakukan pencegahan sama sekali atau dibiarkan kejahatan ini terjadi kemudian baru ditangkap," ujarnya.
Kesalahan keempat, KPK tidak membiarkan kliennya untuk melaporkan peristiwa gratifikasi tersebut ke KPK. Padahal, sesuai aturan, KPK wajib untuk menerima laporan orang lain terkait perkara tindak pidana suap, namun dibiarkan oleh KPK.
"Karena kan undang-undang itu menentukan KPK punya kewajiban untuk menerima laporan kalau ada orang yang menerima gratifikasi. Itulah kira-kira yang saya sampaikan tadi ke Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," tuturnya.
Kesalahan pertama, yaitu KPK menyadap kliennya tanpa ada surat perintah resmi dari pimpinan KPK. Maqdir menduga KPK tengah menyelidiki kasus orang lain dengan cara disadap, tetapi bukan orang lain yang ditangkap melainkan kliennya dan hal itu merupakan kesalahan fatal karena bisa merusak sistem hukum di Indonesia.
"Sepanjang yang kami tahu, bahwa mungkin saja KPK sudah menyelidiki orang lain, tetapi digunakan penyelidikan orang lain ini untuk menangkap Pak Romy. Jelas ini tidak bisa dibenarkan," tuturnya, Senin (6/5/2019).
Kesalahan kedua, yaitu penyelidik KPK melakukan tangkap tangan kliennya seorang diri, tanpa ada komunikasi dengan polisi setempat. Padahal, menurut Maqdir, sesuai KUHAP, jika ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, institusi itu seharusnya berkoordinasi dengan Polda Jawa Timur untuk membantu penangkapan.
"KUHAP itu menyebutkan kalau terjadi tangkap tangan, seharusnya diserahkan kepada penyidik terdekat seperti Polda Jawa Timur dan serahkan penangkapan itu ke penyidik Polda. Tetapi hal ini tidak dilakukan KPK," katanya.
Kesalahan ketiga, KPK tidak pernah melakukan pencegahan ke Rommy , artinya KPK membiarkan kliennya itu menerima uang dari orang lain, sehingga ada perbuatan tindak pidana pada peristiwa itu.
"Misalnya dalam perkara pembunuhan, masa orang dibunuh dulu baru dilakukan pencegahan. Nah, ini bagi kami tidak dilakukan pencegahan sama sekali atau dibiarkan kejahatan ini terjadi kemudian baru ditangkap," ujarnya.
Kesalahan keempat, KPK tidak membiarkan kliennya untuk melaporkan peristiwa gratifikasi tersebut ke KPK. Padahal, sesuai aturan, KPK wajib untuk menerima laporan orang lain terkait perkara tindak pidana suap, namun dibiarkan oleh KPK.
"Karena kan undang-undang itu menentukan KPK punya kewajiban untuk menerima laporan kalau ada orang yang menerima gratifikasi. Itulah kira-kira yang saya sampaikan tadi ke Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," tuturnya.