Bisnis.com, JAKARTA – Krisis kepemimpinan di Venezuela memasuki fase baru yang semakin mengkhawatirkan setelah kedua kubu, baik dari Juan Guaidó maupun Nicolás Maduro, mengerahkan dukungan dari militer yang terpecah.
Maduro mengunjungi pangkalan militer pada Sabtu (4/5/2019), selama 3 hari berturut-turut untuk mencari dukungan dari para anggota lembaga penting negara.
"Kami bukan negara yang lemah tetapi negara dengan angkatan bersenjata yang kuat yang harus menunjukkan diri sebagai satu kesatuan dan kohesif seperti sebelumnya,” ujar Maduro melalui siaran televisi nasional, seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (5/5/2019).
Ketegangan terus memuncak pascaupaya pemakzulan Maduro yang gagal serta pertemuan Grup Lima, badan multilateral yang terdiri dari 14 negara, yang mendorong Kuba untuk menjadi perantara guna mencari solusi dari kekacauan di Venezuela.
Dalam perkembangan terakhir, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau bergabung dengan negara-negara Amerika Latin dalam Grup Lima untuk mencoba bergerak maju dari kebuntuan politik yang juga melibatkan Rusia.
Keterlibatan Rusia terkait dengan hubungan erat dengan pemimpin Venezuela terdahulu Hugo Chavez. Dalam perebutan kekuasaan di Venezuela, Rusia, dan Amerika Serikat menjadi kekuatan besar di balik masing-masing pemimpin yang berusaha mengklaim kekuasaan.
Pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaidó mengatakan dia tidak dapat mengesampingkan opsi dukungan dari militer AS yang bekerja dengan angkatan bersenjata bangsanya untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.
Dalam wawancara dengan Washington Post dia mengatakan bahwa tawaran dari pemerintahan Donald Trump tersebut harus lebih dulu disetujui oleh parlemen yang dia pimpin.
Guaidó, yang merupakan ketua Majelis Nasional dan diakui sebagai pemimpin sah oleh Presiden Donald Trump dan sekitar 50 negara lainnya, mengharapkan akan ada agar lebih banyak pembelot dari militer.
"Upaya untuk mendorong Maduro keluar dan melaksanakan pemilihan presiden secara terbuka membutuhkan lebih banyak dukungan militer," kata Guaidó.
Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan Trump terkait campur tangan AS di Venezuela melalui sambungan telepon pada Jumat (3/5/2019).
Kepada wartawan Trump mengatakan bahwa Putin telah meyakinkan dirinya bahwa Moskwa tidak ingin terlibat dalam krisis di Venezuela, meskipun penasihat keamanan nasional AS, yakni Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton mengatakan bahwa Kremlin sempat membujuk Maduro untuk tetap berada di Caracas. Pernyataan ini dibantah oleh Kremlin.
AS mungkin akan mempertimbangkan opsi tersebut, namun aksi militer akan bertolak belakang dengan kampanye Trump yang enggan terlibat dalam sebuah hal yang disebutnya sebagai "perang bodoh".
Keterlibatan AS di Venezuela juga akan memengaruhi keberadaan pasukan militer AS di negara lain, termasuk Afghanistan.
Tindakan militer juga dapat membuat marah sekutu seperti Brasil dan negara-negara lain di Amerika Latin, di mana AS memiliki sejarah intervensi yang bermasalah dengan negara di kawasan tersebut dari Nikaragua hingga Cile.
Rencana Guaido masih akan terus menjangkau para loyalis Maduro, dikombinasikan dengan tekanan internasional dan protes jalanan,.
"Pemberontakan yang gagal [pekan lalu] mungkin menunjukkan oposisi tidak sekuat yang diharapkan, pada saat yang sama hal itu juga menunjukkan Maduro lebih lemah dari yang diperkirakan," ujarnya.
Krisis Politik Hingga Ekonomi
Hiperinflasi, berkurangnya produksi minyak merosot, hingga perang kekuasaan yang terjadi di Venezuela memperburuk kondisi negara yang diprediksi mencatatkan kenaikan inflasi hingga 8 juta persen.
Melonjaknya harga menyebabkan kelaparan, dan ribuan orang melarikan diri dari Venezuela setiap hari, dengan 3 juta orang yang tercatat sudah tinggal di luar negeri.
Bank sentral Inggris menolak pencairan simpanan emas Pemerintah Venezuela senilai US$1,2 miliar setelah didesak oleh sejumlah pejabat tinggi AS.
Para pejabat AS mencoba mengarahkan aset-aset luar negeri Venezuela ke Guaido untuk membantu meningkatkan peluangnya untuk secara efektif mengendalikan pemerintah.
Aset emas ini merupakan bagian penting dari cadangan devisa bank sentral Venezuela yang saat ini mencapai US$8 miliar.
Di sisi lain, raksasa minyak yang dikelola Pemerintah Rusia, Rosneft PJSC, menuai kritik dari AS karena memberikan dukungan keuangan kepada Maduro.
Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan pada Maret bahwa perusahaan terus memberikan bantuan kepada rezim Maduro dengan memasok produk minyak bumi yang dikelola negara, Petroleos de Venezuela SA (PDVSA), untuk menjaga ekspor tetap mengalir dengan mengabaikan sanksi AS.
Rosneft, yang juga dikenai sanksi AS, membantah tuduhan tersebut. Minyak adalah komoditas andalan Venezuela untuk bertahan di tengah krisis dengan memenuhi sebagian besar pendapatan negara.
Kontrol terhadap cadangan minyak Venezuela, yang merupakan terbesar di dunia, adalah langkah yang sangat krusial.
AS telah menjatuhkan sanksi pada PDVSA yang secara efektif memblokir negara anggota OPEC tersebut untuk mengekspor minyak mentah ke AS, salah satu pelanggan terbesarnya.
Perusahaan-perusahaan Amerika dilarang menjual minyak olahan yang diperlukan Venezuela untuk melarutkan minyak mentahnya, yang selanjutnya menghambat kemampuan PDVSA untuk melakukan ekspor.