Bisnis.com, JAKARTA – Serangan yang didukung AS untuk mengusir milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari ibu kota Suriah, Raqqa pada 2017 telah menewaskan lebih dari 1.600 warga sipil atau 10 kali lebih besar dari yang diakui pasukan koalisi, menurut sebuah laporan terbaru.
Hasil investigasi, yang diterbitkan oleh Amnesty International dan kelompok pemantau Airwars, merekomendasikan untuk mendesak petinggi koalisi mengakhiri hampir dua tahun bantahan atas jumlah korban sipil yang besar dan perusakan yang ditimbulkan di Raqqa.
Donatella Rovera, penasihat senior penanggulangan krisis Amnesty, mengatakan, “Banyak dari pengeboman udara tidak akurat dan puluhan ribu serangan artileri tidak pandang bulu.”
Temuan tersebut dikompilasi setelah berbulan-bulan penelitian lapangan dan analisis data yang luas. Investigasi itu termasuk melalui proyek yang melibatkan 3.000 aktivis digital untuk memindai citra satelit secara online.
Amnesty dan Airwars menyatakan bahwa kasus-kasus yang mereka dokumentasikan mungkin merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional. Mereka juga mendesak anggota koalisi, terutama Amerika Serikat, Inggris dan Prancis, untuk menerapkan mekanisme investigasi independen dan memberikan kompensasi kepada para korban dan keluarga mereka.
Menanggapi laporan itu, pihak koalisi mengatakan perlu semua tindakan yang masuk akal untuk meminimalkan korban sipil. Akan tetapi disebutkan bahwa masih ada tuduhan terbuka yang tengah diselidiki.
“Setiap kehilangan nyawa yang tidak disengaja selama kekalahan ISIS adalah tragis,” kata Scott Rawlinson, juru bicara koalisi dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip Aljazeera.com, Jumat (26/4/2019).
Dia mengatakan tindakan itu seimbang dengan risiko kemungkinan ISIS melanjutkan kegiatan teroris dan menyebabkan rasa sakit dan penderitaan bagi siapa pun yang mereka pilih, katanya.
ISIS merebut Raqqa pada awal 2014 setelah milisi tersebut bergerak melalui Irak dan Suriah. Organisasi itu berencana membangun sebuah kekhalifahan.