Bisnis.com, JAKARTA - Ada dua hal yang dianggap menyebabkan rumitnya pelaksanaan pemilu 2019. Anggapan itu disampaikan lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Perludem.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, pemilu Indonesia sulit dikelola karena dua hal. Pertama, karena pemilu DPR dan DPRD Provinsi juga DPRD Kabupaten/Kota pada waktu yang bersamaan. Kedua, manajemen teknis kepemiluan seperti surat suara yang besar dan banyak, serta distribusinya yang kerap terhambat.
"Sejak 2012, Perludem bersama koalisi masyarakat sipil, serta beberapa lembaga pernah mengusulkan untuk menyerentakan pemilu menjadi dua bagian. Pertama, pemilu serentak nasional, yang menyelenggarakan pemilu presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal, yang menyelenggarakan pilkada dan DPRD," kata Titi dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (23/4/2019).
Menurut Titi, selain mampu mengurangi beban kerja penyelenggara, pemilu serentak dengan desain nasional dan lokal bisa memperbaiki sistem pemerintahan presidensial. Hal itu juga dipercaya bisa menghasilkan partai politik atau koalisi mayoritas, dan sistem kepartaian multipartai moderat di parlemen.
Saat ini, pemilu serentak di Indonesia dilakukan untuk semua jenis pemilihan di level daerah dan pusat. Makanya, pada pemilu 2019 yang baru berlalu pemilih dihadapkan pada 5 surat suara berbeda untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
"Pemilu lima surat suara ini lebih tepat dipandang sebagai pemilu borongan, ketimbang pemilu serentak. Memborong lima pemilu sekaligus dalam satu waktu yang sama," kata Titi.
Dari pelaksanaan pemilu 2019 Perludem merekomendasikan agar ada upaya mewujudkan pemilu serentak nasional dan lokal. Jika konsep itu diperjuangkan dan diterima, nantinya pemilu serentak nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD akan dilakukan pertama.
Setelah itu, selang 2 atau 2,5 tahun setelahnya ada pemilu serentak lokal untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
"Kedua, mengubah besaran daerah pemilihan untuk pemilihan legislatif menjadi lebih kecil, agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi serta meringankan beban petugas penyelenggara pemilu dan pemilih," kata Titi.
Ketiga, Titi menyarankan agar rekrutmen petugas dan bimbingan teknis dioptimalkan. Keempat, harus ada pertimbangan serius untuk menerapkan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik. Hal itu guna mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang melelahkan di TPS.
"Juga untuk memotong rantai birokrasi rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang serta makan waktu lama. Pilihan atas teknologi harus dilakukan secara matang, inklusif, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan uji coba berulang dan memadai, serta melakukan audit teknologi secara akuntabel," kata Titi.