Bisnis.com, JAKARTA – Polemik mengenai perlu atau tidaknya Ujian Nasional dipertahankan bagi peserta didik di Indonesia kembali mencuat pasca debat calon wakil presiden, Minggu (17/3/2019).
Pembahasan Ujian Nasional (UN) muncul setelah calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 Sandiaga Uno berjanji akan menghapusnya jika terpilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Baginya, UN terlalu membebankan siswa dan guru.
“Untuk anak-anak di rumah, UN tersebut sangat tidak berkeadilan. Kami akan menghapuskan, gantikan dengan penelusuran minat dan bakat. Penelusuran minat dan bakat sangatlah aplikatif kepada para peserta didik. Mereka akan mampu diarahkan ke mana mereka. Kalau ke ekonomi kreatif atau ke bidang lain sesuai dengan kemampuannya,” kata Sandiaga, kala itu.
Pernyataan tersebut memantik tanggapan sejumlah pejabat negara. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyatakan sistem evaluasi nasional seperti UN tidak bisa dihapuskan karena merupakan amanat Undang-Undang (UU).
Sejumlah siswa SMP berkebutuhan khusus mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Inklusi Yayasan Badan Pendidikan Kristen Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (23/4/2018)./Antara
Menurut Muhadjir, dengan UN bisa diketahui lembaga pendidikan dan siswa mana saja yang belum memenuhi standar pendidikan nasional. Penilaian itu menentukan langkah yang harus diambil pemerintah untuk membenahi sektor pendidikan di Indonesia.
“Saya tidak mempersoalkan nama Ujian Nasional atau bukan. Tapi yang tidak bisa dihapus itu evaluasi nasional, karena amanat UU. Soal namanya Ujian Nasional atau apa, terserah," tuturnya, Senin (18/3).
Tanggapan serupa diberikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menyampaikan penghapusan UN berbahaya bagi kualitas pendidikan Indonesia.
JK mengkritisi ide Sandiaga yang ingin mengganti UN dengan penelusuran minat dan bakat. Bagi politikus senior Partai Golkar itu, tak mungkin penelusuran minat dan bakat dilakukan dengan biaya dan tenaga yang kecil terhadap jutaan peserta didik.
“Kita harus jaga standar, bahwa standar nasional itu di mana pun di Indonesia itu, bahwa tingkat pengetahuan daripada lulusan SD, SMP, SMA, itu harus mendekati nilai atau mendekati kemampuan kurikulum yang ada. Jadi, kalau mau dihapuskan justru berbahaya bagi kualitas pendidikan nasional. Ada Ujian Nasional saja pendidikan kita masih rendah, apalagi kalau tidak ada," paparnya di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (19/3).
Pelaksanaan UN di Indonesia diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kedua beleid itu mengharuskan adanya evaluasi sistem pendidikan dalam skala nasional.
Sebelum 2015, UN menjadi penentu kelulusan peserta didik dari jenjang pendidikan formal. Tetapi, ketentuan itu diubah setelah Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden.
Meski tidak lagi menjadi penentu kelulusan, setiap siswa wajib mengikuti UN setiap tahun. Hal itu demi menjaga penilaian kualitas sistem pendidikan yang berjalan.
Sejumlah siswa SD bergandengan tangan bersama saat kegiatan Memeluk Jatigede 2018 di Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (2/5/2018)./Antara
Dampak Penghapusan UN
Pengamat pendidikan dari STAI Bani Saleh Andriyansyah menganggap ada dampak positif dan negatif yang bisa muncul dari penghapusan UN. Namun, dia merasa wacana penghapusan UN bukan barang baru di Indonesia.
Menurut Andriyansyah, sisi positif penghapusan UN adalah berkurangnya beban peserta didik untuk belajar melebihi porsinya. Siswa di Indonesia dianggap kerap belajar ekstra dan harus mengorbankan hal-hal lain demi lulus UN setiap tahun.
“Frekuensi belajar yang tidak lazim dan cenderung dipaksakan justru akan membuat pelajaran sulit untuk dipahami, serta akan berdampak negatif terhadap psikologis siswa,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu (20/3).
Di sisi lain, penghapusan UN dirasa bisa menurunkan semangat siswa dalam belajar. Selama ini, UN dianggap efektif membuat peserta didik terlecut keinginan belajarnya.
Andriyansyah khawatir jika UN dihapus maka siswa akan acuh tak acuh dalam belajar. Alasannya, tidak ada lagi ujian yang harus mereka tempuh untuk mengetahui kualitas pribadi setelah menjalani pendidikan.
“Seperti yang kita ketahui, mental sebagian anak-anak Indonesia memang butuh dipaksa agar bisa berprestasi. Jadi, ujian nasional juga sebagai wadah yang melecut semangat siswa untuk belajar dan berprestasi. Hingga pada akhirnya siswa akan acuh tak acuh dalam belajar karena UN tidak ada, menimbulkan kemalasan dalam belajar. Ada UN saja terkadang ada yang malas belajar, apalagi tidak ada UN,” jelasnya.
Secara keseluruhan, Andriyansyah memandang penghapusan UN tidak perlu dilakukan. Meski begitu, dia mengakui perlunya perbaikan dilakukan terhadap sistem UN yang berjalan saat ini.
Petugas menyegel truk pengangkut naskah soal Ujian Nasional (UN) SMA sederajat sebelum pendistribusian di Kantor Pos cabang Denpasar Kamboja, Bali, Jumat (7/4/2017)./Antara-Fikri Yusuf
Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengamanan soal UN karena selama ini masih banyak terdengar kasus bocornya kunci jawaban soal ujian. Kemudian, pemerintah juga diharapkan segera meratakan pengadaan sarana untuk pelaksanaan UN Berbasis Komputer (UNBK) di seluruh daerah.
UNBK mulai diterapkan di sejumlah sekolah sejak 2014. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), hingga tahun pendidikan 2018/2019, jumlah sekolah yang menyelenggarakan UNBK mencapai 78.048 sekolah, terdiri atas 43.840 SMP/MTs, 20.902 SMA/MA, dan 13.306 SMK.
Berdasarkan data Kemendikbud yang diolah Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), anggaran untuk pelaksanaan UN sebesar Rp35 miliar pada 2018. Jumlah itu menurun 70% dibandingkan anggaran serupa pada 2017, yang mencapai Rp135 miliar.
Merujuk ke hasil penelitian UNESCO pada 2014 bertajuk Education Systems in ASEAN+6 Countries: A Comparative Analysis of Selected Educational Issues, diketahui adanya implementasi UN guna menentukan kelulusan dan seleksi siswa di sejumlah negara. Pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi siswa di pendidikan dasar, menengah, dan menengah atas terjadi di Kamboja, India, Laos, Malaysia, dan Myanmar.
Di Brunei Darussalam, UN hanya diselenggarakan untuk seleksi masuk siswa ke lembaga pendidikan dasar dan menentukan kelulusan di sekolah menengah atas. Sistem UN yang sama berlaku juga di Singapura.
Siswa melakukan atraksi bermotor sebagai bentuk euforia seusai pengumuman kelulusan di GOR Ngurah Rai, Bali, Kamis (3/5/2018). /Antara
Sementara itu, di China, Thailand, dan Korea Selatan, UN dilaksanakan di jenjang SMP dan SMA.
Di Filipina, UN hanya dilakukan oleh siswa SMA untuk menentukan kelulusan. Adapun praktik UN di Filipina sama dengan yang diterapkan Selandia Baru.
Manajer Advokasi FITRA Ervyn Kaffah mengemukakan UN penting dipertahankan sebagai alat ukur kualitas pendidikan. Baginya, selama UN bukan penentu kelulusan siswa maka tak masalah jika ujian itu diterapkan.
“Kalau dihapus, instrumen apa yang bisa digunakan? Jadi, untuk UN masih relevan dipertahankan untuk pemetaan, tapi perlu dilakukan perbaikan pada instrumennya,” ujar Ervyn di Kantor Google Indonesia, Jakarta, Minggu (17/3).
Di luar muncul tenggelamnya wacana penghapusan UN, tampaknya banyak yang sepakat langkah meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan memang memerlukan pembahasan dan upaya yang lebih komprehensif.