Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Toyota Alphard Ditarik Leasing, Konsumen Uji Materi UU Jaminan Fidusia

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta, Jumat (27/7/2018)./Bisnis.com-Samdysara Saragih
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta, Jumat (27/7/2018)./Bisnis.com-Samdysara Saragih

Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/3/2019) melakukan sidang uji materi UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Uji materi diajukan oleh dua warga, Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo.

Perkara itu tercatat dengan registrasi No. 18/PUU-XVII/2019. Uji materi diajukan karena pemohon mengaku dirugikan dengan bunyi Pasal 15 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 3, UU Jaminan Fidusia.

Dikutip dari keterangan resmi MK, Rabu (13/3/2019), pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia yang berbunyi, (1) “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa", (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” merugikan hak konstitusionalnya.

Pemohon pun menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 27 Ayat ) dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.

Suri Agung menyampaikan bahwa dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF).

Sebelumnya, pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut.

Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 – 18 Juli 2017, pemohon telah membayarkan angsuran secara taat.

Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.

Menerima perlakuan tersebut, pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.

Pengadilan mengabulkan gugatan pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian.

Atas perlakuan paksa tersebut, pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal, tambah Suri Agung, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo.

Dengan demikian, para pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna  mempertanyakan ketidakjelasan kerugian konstitusional yang disampaikan para pemohon.

Palguna mendapati bahwa permohonan lebih menjabarkan kasus konkret yang dialami para pemohon. Untuk itu, Palguna meminta agar para pemohon memahami syarat-syarat tertentu atas hal-hal yang termasuk dalam kategori kerugian konstitusonal.

“Jadi, kenapa pasalnya bertentangan? Anda harus fokus pada pasal yang diujikan itu dengan menguraikan kerugian konstitusional akibat pemberlakuan pasal a quo dengan UUD 1945. Kenapa bertentangan? tegas Palguna.

Adapun Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para pemohon mempelajari sistematika pengajuan permohonan di MK.

Menurut Enny permohonan ini sulit dipahami sehingga Mahkamah mengalami ketidakmengertian atas hal yang dimaksudkan pemohon. “Oleh karena itu, perbaiki  sistematika kelaziman mengajukan permohonan ke MK serta kedudukan hukum Pemohon. Jika tidak jelas, kita tidak akan bisa masuk ke pokok permohonan.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper