Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Usulkan Kenaikan Impor Agrikultur dari AS, Dialokasikan US$30 Miliar per Tahun

Nilai impor komoditas agrikultur China dari AS diusulkan bertambah menjadi US$30 miliar per tahun.
China Usulkan Kenaikan Impor Agrikultur dari AS/Reuters
China Usulkan Kenaikan Impor Agrikultur dari AS/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA -- China dikabarkan akan mengusulkan pembelian produk agrikultur Amerika Serikat senilai US$30 miliar per tahun, meliputi komoditas seperti kedelai, jagung, dan gandum.

Menurut sumber yang memiliki informasi terkait rencana ini, pengajuan tersebut diperkirakan sebagai bagian dari kemungkinan nota kesepahaman dagang yang masih dalam proses negosiasi antarkedua negara.

Pada kesempatan lain, Menteri Agrikultur AS Sonny Perdue mengatakan terlalu dini untuk mengomentari berapa besar volume impor yang akan menjadi bagian dari kesepakatan dagang.

"Saya tidak ingin membuat dugaan. Namun, jika kita sudah mencapai kesepakatan tentang reformasi struktural, maka pasar dapat kembali pulih dengan sangat cepat," ujar Perdue seperti dikutip Bloomberg, Jumat (22/2/2019).

Sebagai bagian dari perundingan dagang, para pejabat tinggi juga berencana membahas penghapusan tarif anti-dumping dan anti-subsidi terhadap produk komoditas biji-bijian kering (distillers dried grains).

Menyusul kabar ini, harga kedelai, jagung, dan gandum mengalami kenaikan di Chicago, khususnya untuk komoditas jagung yang tumbuh 1,3% pada perdagangan yang berakhir Selasa (21/2).

Kepala ekonom komoditas di INTL FCStone Arlan Suderman mengatakan bahwa China bisa saja menjanjikan penambahan volume impor tapi syarat utama agar kesepakatan dagang dapat tercapai adalah China disiplin dan tegas dalam mengikuti aturan yang telah disepakati.

“Saya tetap skeptis bahwa kesepakatan seperti itu akan 'memperbaiki' neraca perdagangan kedelai. Komoditas jagung, etanol, dan DDGS juga tidak memerlukan pembelian dengan volume besar untuk meningkatkan neraca perdagangan," kata Suderman.

China telah berulang kali menawarkan untuk meningkatkan pembelian produk pertanian dan energi guna memperkecil defisit perdagangan dengan AS.

Sejak 'gencatan senjata' perang tarif disepakati pada Desember, Negeri Panda tersebut telah melanjutkan impor beberapa produk pertanian termasuk kedelai.

Presiden AS Donald Trump pekan ini juga menyampaikan bahwa pembelian jagung dalam jumlah banyak akan masuk ke dalam daftar belanja Beijing berikutnya.

Negosiator AS dan China sedang mengerjakan beberapa nota kesepahaman yang akan membentuk dasar dari kesepakatan akhir kerja sama dagang kedua negara.

Nota kesepahaman ini akan mencakup sejumlah bidang termasuk pertanian, hambatan nontarif, jasa, transfer teknologi, dan kekayaan intelektual.

Mekanisme implementasi masih belum jelas, tetapi jika kedua negara tidak mencapai kesepakatan maka perang dagang akan berakhir dengan kenaikan tarif lanjutan.

Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan bahwa dia tidak memiliki informasi mengenai nota kesepahaman yang sedang dibahas dengan AS.

Gao juga menyatakan tidak dapat memberikan informasi apapun tentang hasil perundingan dagang hingga seluruh kegiatan berakhir.

Pada 2017, China mengimpor produk agrikultur AS sebesar US$24,2 miliar dengan porsi komoditas biji penghasil minyak sebesar 60%, sementara sisanya adalah produk seperti daging, kapas, sereal dan hasil laut. 

Total pembelian gabungan merosot menjadi sekitar US$16 miliar pada tahun lalu akibat tarif pembalasan yang ditetapkan China kepada produk impor AS sehingga secara otomatis mengurangi volume impor.

"Lonjakan harga di Brasil dan Argentina pekan ini membuat AS berada dalam posisi yang baik untuk menarik permintaan dari China jika tidak ada tarif tambahan," tulis Terry Roggensack, salah satu pendiri perusahaan riset komoditas Hightower Report, dalam sebuah catatan.

Kepala Ekonom USDA Robert Johansson mengatakan jika AS dan China gagal mencapai kesepakatan, Brasil dan Argentina diperkirakan akan melayani permintaan Beijing.

Sementara AS akan meningkatkan penjualan ke Eropa, Timur Tengah, dan negara Asia lainnya.

"Produsen AS telah menimbun cukup banyak persedian kedelai dan diperlukan waktu beberapa saat untuk mengurangi stok tersebut," kata Johansson.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper