Bisnis.com, JAKARTA — Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah menyatakan kedua kubu pasangan capres dan cawapres terlihat belum memiliki sikap tegas terkait energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup dalam visi-misi yang telah mereka buat.
Hal ini disebabkan baik pihak TKN Jokowi-Ma'ruf maupun BPN Prabowo-Sandiaga, belum ada yang berbicara mengenai daya rusak pertambangan, daya rusak batu bara, polusi, limbah, dan pengelolaan SDA dari perspektif masyarakat.
"Kalau kata kunci itu tidak muncul dalam debat kandidat, artinya menegaskan debat kandidat nanti adalah diskusi para oligarki, yang membicarakan secara sepihak masa depan pengelolaan sumber daya alam. Tidak bicara perspektif pihak masyarakat," ungkap Merah dalam sebuah acara diskusi di KeKini, di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (11/2/2019).
Keberanian Jokowi-Ma'ruf Dipertanyakan
Merah menyebut visi-misi Jokowi-Ma'ruf terbilang lengkap. Tetapi walaupun menyebut akan mendorong Energi Baru Terbarukan (EBT), keberanian keduanya untuk keluar dari jebakan energi fosil, salah satunya batu bara, masih patut dipertanyakan.
Sebab Merah menyebut Jokowi-Ma'ruf masih dikelilingi oleh pebisnis batu bara, bahkan ada pula politisi yang merangkap pebisnis di bidang energi dalam jajaran elit mereka. Sehingga, dirinya bisa menebak, Jokowi hanya akan mengedepankan narasi nasionalisasi dan divestasi pada beberapa tambang di Indonesia.
"Jokowi juga menawarkan akan melanjutkan produksi energi fosil secara efisien. Itu artinya, dia sudah menggarisbawahi bahwa dia tidak akan melakukan perubahan radikal apa-apa terhadap energi fosil. Indonesia akan tetap bergantung pada energi fosil. Salah satunya batu bara," ungkapnya.
"Sedangkan batu bara saat ini saja batasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] itu membatasi 150 juta ton tiap tahun, itu saja tiap tahun dilampaui oleh rezim pemerintah saat ini," tambahnya.
Sebab itulah nantinya dalam Debat Pilpres putaran kedua, kata Merah, Jokowi harus memperjelas bagaimana konsep dan gagasannya mengenai EBT.
"Jokowi memang bicara EBT. Tapi EBT yang seperti apa? EBT seperti [pembangkit listrik] geothermal itu membunuh rakyat 3000 orang digusur di Solok, Sumatera Barat. Apakah geothermal ini yang mau didorong?" ungkapnya.
Oleh sebab itu Jatam mendorong adanya EBT yang sesuai dengan kekayaan sumber daya alam terbarukan di masing-masing daerah, serta menumbuhkembangkan EBT dari kalangan lokal.
"Komunitas banyak yang mempraktikkan. Mestinya kita belajar dari komunitas. Dari warga-warga yang mempraktikkan skala kecil, skala kampung. Kalau skalanya industrial, mereka pasti ngejar rente," sindirnya.
Dirinya memberi contoh kasus korupsi EBT panel surya di Papua yang membuat salah satu bupati menjadi tersangka. Juga proyek 35.000 MW, PLTU Riau 1 yang justru menjadi ajang korupsi, sebab skalanya terlampau besar.
"Jadi kita harus pertanyakan segala proyek ambisius terkait dengan energi. Jangan-jangan di situ ada kepentingan rente. Mendapatkan keuntungan," ujar Merah.
"Kalau bicara energi harus libatkan masyarakat, ajak masyarakat menjadi subjek. Komunitas atau warga sebagai subjek, bukan objek dari proyek. Pendekatannya ngga boleh pendekatan proyek," tegasnya.
Prabowo-Sandi Miskin Substansi
Dari sisi visi-misi Prabowo-Sandiaga, Merah menyebut mereka masih belum bisa menampilkan gagasan pengelolaan SDA yang menyentuh akar permasalahan.
"Dalam visi-misi Prabowo-Sandi, disebutkan mereka akan mendorong usaha pertambangan yang ramah lingkungan. Ini hoaks. Tidak ada pertambangan ramah lingkungan," tegasnya.
"Pertambangan dan lingkungan hidup tidak bisa berdampingan. Pertambangan pasti membongkar, membuka bentang alam, pasti merusak meninggalkan lubang-lubang tambang. Jadi ngawur narasi itu," tambahnya.
Terlebih, narasi yang dibangun cenderung hanya menyodorkan bisnis dari kalangannya sendiri, sebab EBT yang dia maksud hanyalah soal biofuel.
Oleh sebab itu, Merah berpendapat alangkah baiknya apabila kubu Prabowo-Sandiaga sanggup memberikan solusi terhadap mafia pertambangan liar, perbaikan kerusakan lingkungan hidup, juga moratorium yang semyanya hingga kini masih belum dimaksimalkan petahana.
"Dampak kerusakan lingkungan hidup itu tidak hanya dari pertambangan liar. Tapi juga pertambangan korporasi," jelasnya.
"Freeport itu Rp185 triliun menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kemudian KPC [Kaltim Prima Coal], kemudian lubang-lubang tambang oleh perusahaannya Luhut, PT Toba Bara, dan seterusnya," tambah Merah.
Jatam Kritisi Visi-Misi Kedua Capres Soal Energi dan SDA
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menyatakan kedua kubu, terlihat belum memiliki sikap tegas terkait energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup dalam visi-misi yang telah mereka buat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Akhirul Anwar
Topik
Konten Premium