Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Rakyat Britania Raya akhirnya satu suara agar kesepakatan no-deal dalam skenario Brexit dihapus dan memberikan tugas kepada Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk segera menegosiasikan kesepakatan Irish backstop.
PM May berjanji akan membuka negosiasi ulang dengan Uni Eropa terkait isi kesepakatan yang paling kontroversial dari perjanjian keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) tersebut. May pun akan bertolak ke Brussel untuk menghadap pejabat Uni Eropa.
Langkah May cukup berani demi memenangkan suara mayoritas dari Partai Konservatif dengan berpihak pada rencana parlemen untuk membatalkan bagian kesepakatan Brexit yang paling kontroversial yakni Irish backstop.
Dalam voting yang dilakukan pada Selasa (29/1) malam waktu London, Dewan Rakyat Britania Raya telah sepakat mengirim May kembali ke Brussel dengan misi mengubah poin Irish backstop dari kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.
Sang perdana menteri hanya memiliki waktu dua pekan untuk mempercepat proses negosiasi dan membuat kemajuan pada proses pencapaian kesepakatan di parlemen sebelum voting lanjutan pada Februari mendatang. May juga harus mengantongi lebih banyak dukungan dari Partai Konservatif yang sempat memberontak pada voting sebelumnya.
"Saya tidak akan berhenti berjuang untuk Inggris. Tetapi tingkat kesuksesan kita akan menjadi lebih sulit dicapai kalau anggota dewan rakyat tidak bisa bekerja sama," ujar May kepada Parlemen Inggris seperti dikutip Bloomberg, Selasa (29/1).
"Saya meminta dewan ini untuk memberikan mandat yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat didukung oleh semua pihak," tambahnya.
Pasalnya, jika May dan Uni Eropa gagal mencapai kesepakatan pada negosiasi ulang, serta tidak mendapat dukungan dari Parlemen Inggris maupun Parlemen Uni Eropa, maka Inggris akan keluar dari blok ekonomi terbesar itu tanpa kesepakatan.
Kemungkinan itu akan memicu resesi Inggris yang dapat menyebabkan pukulan keras terhadap pound sterling, pelemahan harga jual properti hingga merusak supply chain industri manufaktur.
TANTANGAN DARI UE
Tantangan dari Uni Eropa muncul ketika Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker yang bertemu dengan May sebelum debat parlemen mengatakan bahwa Uni Eropa tidak akan membuka negosiasi perjanjian Brexit bahkan jika parlemen terus mendesak.
Namun menurut May, Uni Eropa tidak punya pilihan lain di samping membuka kembali negosiasi jika mereka juga ingin menghindari risiko no-deal Brexit.
Inggris sekarang hanya memiliki waktu 8 pekan hingga tenggat waktu Brexit yang jatuh pada 29 Maret 2019. Meskipun May telah menemukan cara untuk mengumpulkan suara mayoritas, dia tetap harus mempertahankan para anggota parlemen pro-Brexit yang mulai menunjukkan sikap enggan untuk berkompromi.
"Uni Eropa memiliki keterbatasan untuk membuka kesempatan amandemen dan proses negosiasi tidak akan mudah," kata May kepada anggota parlemen.
Peringatan tersebut juga berisi pesan bahwa dia tidak mungkin mengabulkan semua permintaan Parlemen, tetapi dia menjanjikan penggantian isi kesepakatan Irish backstop dan sedikit perubahan pada isi kesepakatan dengan Uni Eropa.
Adapun, PM May akan berkunjung ke Brussel untuk membuka potensi negosiasi dengan Uni Eropa pekan ini. Dia berjanji akan membawa kesepakatan baru untuk disampaikan di hadapan para anggota parlemen pada 13 Februari 2019 dan membuka kesempatan voting sehari kemudian.
Di sisi lain, Pemerintah Republik Irlandia telah menyatakan posisi mereka dalam rencana negosiasi antara Inggris dengan Uni Eropa. Pemerintah Irlandia menolak untuk berkompromi sesaat setelah Parlemen Inggris mendukung proposal May untuk menghapus Irish backstop dari perjanjian Brexit.
Kebijakan ini dirancang untuk menjaga perbatasan dengan Irlandia Utara setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa. Alasan pertama, kata para pejabat pemerintah Irlandia, Uni Eropa telah menolak rencana negosiasi ulang May. Kedua, karir Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar berpotensi berakhir jika ia menyerah di hadapan Inggris. Ketiga, Parlemen Inggris berupaya untuk menghindari no-deal Brexit.
"Satu hari lagi terbuang [dalam proses Brexit] sementara waktu terus berjalan. Pemerintah dan Parlemen masih berputar-putar di tempat yang sama padahal bisnis dan masyarakat membutuhkan kejelasan. Perdebatan di Westminster yang tidak berkesudahan menyebabkan ketidakpastian pasar dan menimbulkan efek disrupsi," ujar Adam Marshall, Direktur Jenderal Kamar Dagang Inggris.