Bisnis.com, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menghidupkan pasal karet setelah frasa ‘citra diri’ dipertahankan dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu.
Rian Ernest Tanudjaja, kuasa hukum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengingatkan bahwa citra diri tidak memiliki penjelasan dalam UU Pemilu. Setelah MK menyatakan citra diri konstitusional maka pemaknaannya dikembalikan ke pengawas pemilu.
“Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi terlalu konservatif dan melempar bola ke penegak hukum,” tutur Rian Ernest Tanudjaja usai sidang perkara uji materi UU Pemilu di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Dalam pertimbangan hukum putusan uji materi Pasal 1 angka 35 UU Pemilu, MK mengakui citra diri hanya tercantum sepintas. Kampanye, dalam Pasal 1 angka 35 dimaknai sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri.
Celakanya, dalam bagian penjelasan UU Pemilu citra diri dianggap ‘sudah cukup jelas’. Begitu pula pasal, ayat, atau bagian lain dari UU Pemilu tidak menjelaskan lebih lanjut. Padahal, pelanggaran atas panawaran citra diri yang tidak sesuai jadwal kampanye memiliki konsekuensi pidana.
Citra diri baru didefinisikan secara eksplisit dalam Perbawaslu No. 7/2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum yakni setiap alat peraga atau materi lainnya yang mengandung unsur logo dan nomor urut parpol peserta pemilu.
Baca Juga
Berbeda dengan PSI, Rian Ernest Tanudjaja mengatakan MK mendalilkan citra diri tidak multitafsir karena secara gramatikal memiliki arti di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, citra dimaknai antara lain sebagai rupa, gambaran, gambaran pribadi.
MK, tambah Rian Ernest Tanudjaja, lantas memberikan penafsiran bahwa citra diri dalam pemilu sebagai gambaran positif peserta pemilu termasuk berupa visualisasi. Dengan pertimbangan hukum tersebut, citra diri dianggap MK tidak multitafsir seperti klaim PSI.
“Sayangnya, MK tidak memasukkan parameter tersebut dalam putusannya,” ujar Rian Ernest Tanudjaja .
Selain alasan definisi, MK memandang eksistensi citra diri justru memperbaiki pengawasan pemilu. Pasalnya, dalam pengaturan pemilu-pemilu terdahulu kampanye didefinisikan hanya mencakup visi, misi, dan program kontestan. Bila citra diri dihapus, pengawas pemilu akan kesulitan menegakkan aturan main sehingga pesta demokrasi tidak berlangsung jujur dan adil.
“Dengan frasa itu tidak ada lagi kegiatan kampanye terselubung karena semua terjangkau oleh pengawas pemilu,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra kala membacakan pertimbangan hukum Putusan MK No. 48/PUU-XVI/2018 itu.
Selain meminta penghapusan citra diri dari UU Pemilu, PSI juga memohonkan pembatalan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) yang mengatur beberapa mekanisme pembiayaan metode kampanye dan jangka waktu kampanye, serta Pasal 293 ayat (1)-ayat (4) yang mengatur iklan kampanye. Terhadap pasal-pasal tersebut, MK juga memandang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.