Bisnis.com, JAKARTA — Upaya evakuasi korban bencana tanah longsor yang menimpa 30 rumah dari 32 keluarga di Kampung Garehong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat masih terus dilakukan. Dari 101 jiwa, tercatat hingga saat ini 15 orang meninggal dunia dan 20 orang masih dalam pencarian.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan kronologi terjadinya longsor Sukabumi dalam konferensi pers di kantor Graha BNPB, Rabu (2/1/2018).
Sutopo mengungkapkan musibah itu disebabkan hujan deras yang mengguyur Sukabumi beberapa hari sebelum terjadinya longsor, Senin (31/12/2018) pukul 17.30 WIB.
"Ada kemungkinan hujan deras yang terjadi sebelumnya telah menyebabkan retakan-retakan di puncak bukit," ungkap Sutopo.
"Apalagi daerah sini [terdampak] sebagian besar penggunaan lahan adalah sawah. Otomatis terjadi volume aliran permukaan banyak," tambahnya.
Selain hujan lebat, Sutopo menilai longsor disebabkan daerah puncak perbukitan tempat terjadinya longsor tidak ditanami tanaman dengan akar kuat. Puncak perbukitan tersebut seharusnya menjadi hutan atau kawasan konservasi, tetapi justru menjadi kawasan budi daya.
Baca Juga
"Di daerah puncak perbukitan, tanamannya adalah tanaman tahunan, tetapi jarang, bukan pohon, dan sebagian tanaman semusim. Sementara di bagian tengah sampai bagian bawah adalah sawah," lanjutnya.
Atas dasar itulah, Sutopo menduga hal tersebut sanggup menghasilkan total panjang dari mahkota longsor sekitar 800 meter dengan daerah landaan sekitar 8 hektare sesuai hasil analisi satelit. Ketebalan longsor pun bervariasi dengan ketebalan maksimal sampai 10 meter.
"Pertama longsor meluncur, kemudian karena di bagian atas ada bagian yang cukup tinggi, longsornya melompat, menjadi lebih melebar menghantam permukiman yang ada di kampung Cimapag," ungkap Sutopo.
Sebab itulah Sutopo mendorong adanya implementasi pengendalian tata ruang wilayah di Kabupaten Sukabumi. Sebab dari peta prakiraan bahaya longsor, Sukabumi memang daerah dengan potensi longsor menengah dan tinggi pada Januari 2019.