Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan konservatisme beragama tidak akan bermasalah jika dipahami sebagai paham yang tidak mengarah pada ekstremisme.
"Konservatisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusivisme dan ekstremisme agama dan menjadi alat bagi kepentingan politik," kata Mahfud membacakan Risalah Jakarta hasil dialog tokoh lintas iman di Jakarta, Sabtu (29/12/2018).
Dia mengatakan di sisi lain konservatisme tidak bermasalah sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajaran dan tradisi keagamaan.
Menurut Mahfud, eksklusivisme dan ekstremisme agama yang benar justru bukan hanya panduan moral spiritual, tapi menjadi sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan.
Sementara konservatisme yang mengarah pada eksklusivisme dan ekstremisme beragama, kata dia, seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan, melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan (politik maupun ekonomi), formalisme hukum, politisasi agama dan cara berkebudayaan.
Pertarungan pada ranah kebudayaan menjadi pertarungan strategis. "Karena itu, agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan," ucapnya.
Dia mengemukakan terdapat kalangan beragama menjadikan eksklusivisme dan ekstrimisme menjadi alasan beberapa kelompok untuk memperjuangkan ideologi agama sebagai ideologi negara.
Menurut Mahfud, formalisasi agama dalam kebijakan negara juga menguat di berbagai daerah atau dalam kebijakan yang mengatur pelayanan publik dan kewargaan, bahkan menciptakan kegamangan atas hukum positif yang berlaku, semisal dalam isu-isu terkait keluarga dan perempuan.
Maka dari itu, dia mendorong pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk memimpin gerakan penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus utama.
Agama, lanjutnya, perlu dikembalikan pada perannya sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan hanya pada aspek ritual dan formal apalagi yang bersifat eksklusif, baik pada ranah masyarakat maupun negara.
Pemerintah, menurut dia, juga perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menghapus atau membatasi regulasi dan kebijakan yang menumbuhsuburkan eksklusivisme dan ekstremisme beragama dan perilaku diskriminatif dalam kehidupan beragama.
"Salah satunya, mendorong pembentuk UU (DPR dan pemerintah) merevisi UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pemberlakuan PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama sesuai dengan Putusan MK," kata Mahfud.
Selanjutnya, tuturnya, perlu ada pengembangan strategi komunikasi berbangsa agar terhindar dari kegagapan menghadapi era disrupsi dan membangun gerakan kebudayaan untuk memperkuat akal sehat kolektif.
"Diperlukan langkah-langkah menerjemahkan materi atau muatan yang fundamental dari tokoh agama, budayawan dan akademisi, menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami generasi muda tanpa kehilangan bobot isinya," kata Mahfud.
Strategi berikutnya, ungkapnya, tokoh-tokoh agama agar lebih aktif dalam memandu umat untuk menjalankan agama dan keyakinan yang terbuka, berlandaskan nilai-nilai hakiki agama sebagai panduan spiritual dan moral, bahkan sebagai sumber kreasi dan inspirasi kehidupan.