Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dua Jurnalis Reuters yang Dipenjara di Myanmar Ajukan Banding

Usai dipenjara selama setahun oleh otoritas Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo mengajukan banding atas dakwaan yang menjerat mereka.
Dua wartawan Reuters, Wa Lone (kiri) dan Kyaw Soe Oo, ditahan di Myanmar sejak 12 Desember 2017/Reuters
Dua wartawan Reuters, Wa Lone (kiri) dan Kyaw Soe Oo, ditahan di Myanmar sejak 12 Desember 2017/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Tim pengacara dua jurnalis kantor berita Reuters yang ditahan oleh otoritas Myanmar mengajukan banding atas vonis 7 tahun kurungan dengan dakwaan pembocoran rahasia negara, Senin (24/12/2018).

Dokumen banding pertama kali diajukan pada November lalu dengan membawa bukti yang menunjukkan bahwa kepolisian sengaja menjebak dua jurnalis dan menghukum mereka tanpa adanya bukti yang kuat.

Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) dinyatakan bersalah pada September 2017 usai proses peradilan di Yangon. Keduanya dituduh melanggar aturan kerahasiaan negara karena memiliki sejumlah dokumen rahasia Myanmar.

Dilansir Reuters, tim pengacara menyampaikan argumen untuk memperkuat banding selama satu setengah jam sebelum proses tersebut ditunda. Pengadilan tidak memberi tahu kapan keputusan banding akan disampaikan.

Salah satu pengacara, L. Khun Ring Pan, meminta hakim Aung Naing, untuk membatalkan keputusan pengadilan tingkat rendah dan membebaskan Wa Lone dan Kyaw Soe.

Pengacara menilai pengadilan tingkat rendah telah salah menjatuhi vonis kepada para terdakwa. Selain itu, jaksa penuntut gagal membuktikan bahwa para jurnalis telah mengumpulkan, menyimpan informasi rahasia dan menyebarkannya ke musuh negara. Jaksa penuntut juga gagal membuktikan bahwa kedua jurnalis Reuters tersebut sengaja merusak keamanan nasional.

"Menurut bukti, file kasus dan referensi yang saya kirimkan, mereka tidak bersalah," kata L. Khun Ring Pan, Senin (24/12/2018).

Sebelum penahanan, kedua wartawan tersebut bekerja dalam sebuah investigasi Reuters perihal pembunuhan 10 lelaki muslim Rohingnya. Mereka diduga dibunuh pasukan keamanan dan masyarakat sipil Buddha di kawasan Rakhine saat krisis Rohingnya bermula pada Agustus 2017.

Adapun krisis saat itu mengakibatkan lebih dari 730 ribu masyarakat etnis Rohingnya mengungsi ke Bangladesh.

L. Khun Ring Pan mengatakan pengadilan tingkat rendah mengabaikan kesalahan dalam penuntutan, termasuk inkonsistensi terkait penangkapan wartawan.

Polisi mengatakan keduanya ditangkap ketika mereka melewati patroli rutin keamanan dan kedapatan memegang dokumen rahasia.

Tetapi selama delapan bulan audiensi, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo bersaksi bahwa dua polisi yang belum pernah mereka temui sebelumnya menyerahkan mereka kertas yang digulung di sebuah surat kabar selama pertemuan di sebuah restoran Yangon pada 12 Desember 2017.

Segera setelah itu, kata mereka, mereka disergap dan dibawa ke dalam mobil oleh petugas berpakaian preman dan ditahan.

“Penangkapan di pos perhentian lalu lintas itu bohong. Mereka ditahan setelah dijebak. Tidak mungkin ada tindakan hyang berdasarkan jebakan," kata pengacara pembela.

Sementara itu, Khine Khine Soe, pejabat hukum yang mewakili pemerintah mengatakan bukti menunjukkan bahwa kedua wartawan tersebut mengumpulkan dokumen rahasia. Pihak pengadilan tidak memberi respons terkait presentasi banding yang disampaikan.

Kasus pemenjaraan dua wartawan Reuters memunculkan kekhawatiran soal transisi Myanmar yang selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya berada di bawah kontrol militer yang kuat.

Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi mengatakan pada bulan September bahwa pemenjaraan para wartawan tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi. Dia mengatakan mereka dihukum karena memiliki dokumen rahasia negara dan "tidak dipenjara karena mereka adalah jurnalis".

Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J. Adler mengatakan dalam sebuah pernyataan sebelum sidang bahwa para wartawan harus dibebaskan.

"Kami akan menjelaskan kepada hakim banding mengapa, di bawah hukum, pengadilan banding harus mengembalikan kebebasan wartawan kami dan menegaskan kembali prinsip-prinsip demokrasi Myanmar," kata Adler.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Reuters

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper