Kabar24.com, JAKARTA — Pemerintah mesti melakukan konsultasi setiap penjajakan perjanjian internasional bidang ekonomi yang berdampak luas bagi masyarakat dengan Dewan Perwakilan Rakyat agar pengesahannya dapat berbentuk UU.
Pengetatan tata cara pengesahan regulasi itu dinilai sebagai konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 13/PUU-XVI/2018 yang menyatakan Pasal 10 UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional inkonstitusional secara bersyarat. MK memperluas bidang perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan parlemen atau pengesahannya melalui UU dari hanya enam bidang.
Keenam bidang itu adalah (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri.
Selama ini, jenis perjanjian di luar enam bidang itu disahkan melalui peraturan presiden (sebelumnya keputusan presiden). Setelah Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 maka seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih bersama parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau perpres.
Penasihat Ahli Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan peran parlemen menjadi lebih besar untuk menyaring bidang-bidang perjanjian internasional yang disahkan lewat UU atau perpres. Paremeternya adalah dampak perjanjian itu terhadap kehidupan rakyat Indonesia.
Merujuk pertimbangan putusan MK, Gunawan menilai penting-tidaknya sebuah perjanjian dilihat dari pemenuhan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bila sebuah bidang perjanjian dianggap memenuhi tiga kriteria itu maka pengesahannya sepatutnya melalui UU.
“Nanti DPR otomatis melibatkan rakyat. Dari situ nanti akan diketahui perjanjian mana yang penting mana yang tidak” katanya usai sidang putusan perkara uji materi UU 24/2000 di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Dalam pertimbangan maupun amar putusannya, MK memang tidak menyebutkan secara eksplisit bidang perjanjian internasional baru yang mesti disetujui DPR. Meski demikian, Gunawan meyakini bidang-bidang ekonomi termasuk dalam klasifikasi perjanjian penting yang harus disahkan lewat UU.
FTA-CEPA
Saat ini, karena pembatasan dalam Pasal 10 UU 24/2000, pengesahan perjanjian area perdagangan bebas (FTA) atau persetujuan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) hanya dengan perpres. Ke depan, menurut Gunawan, tidak tertutup kemungkinan sebagian perjanjian dagang disahkan melalui UU.
Gunawan berharap DPR mengkaji secara mendalam setiap perjanjian yang dikonsultasikan pemerintah. Pasalnya, bukan tidak mungkin draf sebuah perjanjian dagang tidak mengharuskan mekanisme ratifikasi--seperti Kemitraan Trans-Pasifik--padahal perjanjian itu berdampak luas bagi masyarakat.
“Kalau terjebak di situ [ tidak perlu ratifikasi] seolah-olah tidak penting. Makanya hal-hal seperti ini harus diwaspadai,” ujarnya.
IHCS merupakan salah satu pemohon uji materi UU 24/2000 bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan kalangan petani. Dari empat norma yang diperkarakan, hanya Pasal 10 UU 24/2000 yang dikabulkan oleh MK.
Terkait Pasal 2, MK menilai frasa ‘berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik’ tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra, mekanisme konsultasi oleh menteri luar negeri dengan parlemen tidak menghilangkan substansi persetujuan DPR sebagaimana ketentuan Pasal 11 UUD 1945.
Dalam konsultasi itu, dapat diketahui pendapat parlemen atas penjajakan perjanjian internasional yang sedang dirundingkan. Sikap DPR akan tercermin dari disahkan atau tidak suatu perjanjian internasional melalui UU.
“Dalam praktik yang berlangsung selama ini, dalam konsultasi itu DPR akan memberikan rekomendasi. Meskipun rekomendasi tidak mengikat dalam praktiknya sangat dihormati pemerintah,” tutur Saldi.
Terhadap Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000, MK memandang tidak ada masalah konstitusionalitas dengan pengesahan perjanjian internasional melalui UU atau kepres. Dengan alasan itu pula pengujian Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 yang mengatur pengesahan melalui kepres ditolak oleh lembaga penafsir UUD 1945 tersebut.