Bisnis.com, JAKARTA – Sudah tak terhitung jumlahnya tulisan sejarah yang mengangkat perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Misalnya, Michael H Hart, dalam The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Thomas Carlyle, dalam On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History, memposisikan beliau sebagai orang terpenting dari aspek kepahlawanan. Marcus Dodds, dalam Muhammad, Budha, and Christ, menyebut beliau sebagai tokoh paling berani secara moral. Will Durant, dalam The Story of Civilization in The World, menempatkan beliau sebagai orang pertama dilihat dari hasil karyannya. Sementara, dalam Muhammad al-Rasul wa al-Risalah, Nazame Luke menempatkan ajaran Nabi sebagai yang paling perfectable.
Yang pasti, semuanya berkesimpulan bahwa Muhammad SAW adalah manusia teragung dalam sejarah. Penilaian ini tentu tidak berlebihan. Bahwa Muhammad SAW adalah manusia multidimensional. Sosok pemimpin yang alim, politikus yang agamawan, dan panglima yang menawan. Pemimpin yang membela hak-hak kaum tertindas.
Beliau bukan hanya meneriakkan reformasi politik di dunia Arab kala itu, tetapi juga menggulirkan revolusi sosial-kultural menuju sebuah sistem yang egaliter, humanis, dan toleran. Itulah sosok manusia ideal yang sudah sepantasnya menjadi top-model (uswatun-hasanah) bagi segenap manusia di seantero dunia, termasuk umat Islam di Indonesia yang kini tengah berada di tahun politik jelang pergantian kepemimpinan nasional (Pilpres 2019).
Kepemimpinan Nabi
Sejarah telah mencatat bahwa Nabi hadir di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliah dengan visi dan misi untuk mendekonstruksi segala bentuk sistem sosiokultur yang sarat dengan benih diskriminasi. Ketika itu, masyarakat Arab masih terbelenggu fanatisme kesukuan dan klanisme, dan karenanya, tak mengherankan jika konflik antarsuku dan etnik kemudian menjadi pemandangan keseharian dunia Arab kala itu.
Namun, seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kepemimpinan Nabi, sistem sosiokultur yang bercorak eksklusif dan tiranik itu, sedikit demi sedikit terkikis dan terkubur dalam-dalam. Nabi pun menghapus sistem sosial yang diskriminatif menjadi egaliter, karena di mata Tuhan sejatinya tak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara yang berkulit putih dan hitam.
Nabi juga mengecam fanatisme suku dan etnik. Baginya, pluralisme suku dan etnik merupakan bukti kebesaran Tuhan. Karenanya, anugerah itu harus mampu disinergikan menjadi kekuatan besar untuk menjalin kerjasama guna mengatasi berbagai problematika hidup yang dihadapi. Bukan justru dijadikan dalih untuk menyulut konflik terbuka.
Ketika terjadi banjir yang meruntuhkan sebagian dinding Ka’bah dan mengakibatkan Hajar Aswad jatuh, misalnya, semua kabilah merasa berhak meletakkan 'batu hitam' itu. Terjadilah perkelahian antarkabilah. Tak lama kemudian, datanglah seorang tua bernama Abu Umayyah ibn al-Mughiroh al-Mahzumy untuk mendamaikan pertengakaran yang tengah bergejolak. Beliau pun menawarkan solusi agar yang meletakkan Hajar Aswad itu orang yang kali pertama memasuki Ka’bah dari pintu Bani Syaibah.
Singkat cerita, ’perlombaan’ itu dimenangkan oleh Muhammad. Tanpa diduga, ketika akan mengangkat Hajar Aswad, beliau meminta sehelai kain dan mengajak ’koalisi’ dengan menyuruh setiap kabilah untuk menunjuk wakilnya. Mereka yang ditunjuk diminta memegang pinggir kain itu dan mengangkat Hajar Aswad bersama-sama, kemudian Muhammad menempatkannya di tempat semula dengan kedua tangannya. Perebutan ‘kue politik’ pun berakhir dengan damai.
Peristiwa diatas menggambarkan betapa kebijakan ’politik’ Muhammad itu sangat adil dan demokratis. Meski telah diberi otoritas penuh untuk mengangkat Hajar Aswad tetapi karena persoalan yang sedang dihadapinya itu berkaitan dengan masyarakat, kepentingan berbagai kabilah, suku maupun golongan, maka keterlibatan semua kelompok sangat diperlukan. Pantaslah bila kemudian beliau mendapat gelar Al-Amin.
Meskipun suku Quraish (suku asal Nabi) berpredikat the best dan Islam sebagai agama dominan, tetapi mereka tidak dianakemaskan. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi.
Dalam aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran egaliterianisme, yakni, pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS.17:26;59:7). Karena itu, Nabi sangat menentang paham kapitalisme, dimana modal atau kapital hanya dikuasai oleh suatu kelompok tertentu yang secara ekonomi telah mapan.
Di samping faktor politik dan ekonomi, hal sangat mendasar yang ditegakkan Nabi adalah supreme of court (konsistensi hukum). Sebagai sejarawan ulung, Nabi memahami bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa.
Keadilan yang berhasil ditegakkan akan mengantarkan terjadinya pencerahan peradaban. Sebaliknya, kekacauan, kekerasan, dan kejahatan, akan mencabik dan mengoyak kehidupan masyarakat (bangsa), manakala hukum dan keadilan ‘dimatikan’.
Kepemimpinan Nasional
Lalu, bagaimana dengan kepemimpinan bangsa kita? Dalam sejarah percaturan politik nasional, kita masih sering dihadapkan dengan kenyataan kepemimpinan yang lebih mengandalkan tindakan represif ketimbang mengedepankan cara-cara yang persuasif.
Kita juga sering menyimak bagaimana para elite politik lebih disibukkan dengan kepentingan kelompok dan perilaku hedonistik, daripada memperjuangkan aspirasi wong cilik.
Lebih dari itu, korupsi yang kian menggurita di negeri ini kini jadi rimba permasalahan yang kian tak jelas batas dan cara penyelesaiannya. Sebuah kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang, dan berakar pada apa yang disebut filsuf Nietzsche sebagai kehendak berkuasa.
Nah, belajar dari kepemimpinan Nabi, seorang pemimpin mestinya bisa membaca, mengartikulasikan, dan merealisasikan bahasa batin rakyat yang dipimpinnya. Posisinya juga harus berada di tengah-tengah rakyatnya. Sebab, hanya dengan cara demikianlah dia dapat melebur bersama rakyat yang telah menobatkannya.
Dan jika dia telah melebur dengan rakyatnya, tentu dia akan memahami apa yang menjadi keluh kesah dan dambaan rakyatnya, bukan malah mengorupsi uang negara yang esensinya berasal dari rakyat.
Sejarah membuktikan, betapa banyak pemimpin yang kemudian tergiur manisnya kekuasaan, sehingga mereka lupa akan amanat dan tugas kepemimpinan yang diembankan kepadanya. Mereka kemudian seakan menjadi asing dengan bahasa batin rakyat yang dulu sangat peka didengarnya.
Jika seorang pemimpin tidak mampu menahan godaan dan nafsu setani yang mengitarinya, dia akan menggunakan kekuasaannya tersebut sebagai senjata ampuh untuk menindas rakyat dan lawan politiknya, serta berusaha menegakkan panji-panji otoritarianisme.
Bangsa ini butuh pemimpin sejati. Bukan pemimpin yang hanya pintar blusukan dan beretorika tanpa fakta. Bukan pemimpin yang gampang marah dan suka mengeluh, tapi pemimpin yang mau mendengar segala keluh-kesah rakyatnya.
Bukan pemimpin yang sibuk dengan kepentingan golongan dan orientasi politik partisan sesaat, tapi pemimpin yang sadar bahwa hidup dengan segala bentuk pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas di dunia ini saja, tapi juga kelak di akhirat.
Saatnya bangsa ini meneladani kepemimpinan Nabi. Wallahu A’lam…
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (19/11/2018)