Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah delapan lokasi di Kota Pasuruan, Jawa Timur terkait kasus suap di lingkungan Pemerintah Kota Pasuruan.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan kedelapan lokasi tersebut antara lain empat kantor di kompleks Pemerintah Kota (Pemkot) Pasuruan, yakni kantor Walikota, kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU), kantor staf ahli, dan kantor bagian pengadaan.
Lokasi lainnya yaitu dua kediaman Walikota, baik rumah pribadi maupun rumah dinas, kantor Dinas Koperasi, dan rumah seorang saksi.
"KPK menugaskan tiga tim penyidik secara paralel untuk lakukan penggeledahan di delapan lokasi di Pasuruan, Sabtu (6/10/2018)," paparnya seperti dilansir Antara, Minggu (7/10).
Febri mengungkapkan proses penggeladahan berlangsung sekitar pukul 09.00 WIB-18.00 WIB. Tim KPK menyita sejumlah dokumen terkait proyek dan pengadaan di lingkungan Pemkot Pasuruan serta uang dalam pecahan rupiah.
Namun, tidak disebutkan berapa besaran uang yang disita.
Dalam kasus tersebut, ada sejumlah sandi yang terindikasi digunakan yakni "ready mix" atau campuran semen, "apel" untuk fee proyek, dan "kanjengnya" yang diduga berarti Walikota.
"Teridentifikasi, kode "apel" yang berarti fee proyek mengacu pada pengertian "apel" atau upacara. Istilah yang dipahami sebagai 'menghadap ke Walikota'," terangnya.
KPK sudah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut yaitu Walikota Pasuruan Setiyono, staf ahli atau Plh Kadis PU Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo, staf Kelurahan Purutrejo Wahyu Tri Hardianto, swasta atau perwakilan CV Mahadir Muhammad Baqir.
Tiga nama pertama diduga sebagai penerima, sedangkan nama terakhir diduga sebagai pemberi.
KPK menduga proyek-proyek di lingkungan Pasuruan telah diatur oleh Setiyono melalui tiga orang dekatnya dan terdapat komitmen fee antara 5%-7% untuk proyek bangunan dan pengairan. Dalam perkara ini, digunakan istilah "trio kwek kwek" terkait dengan tiga orang kerabat Setyono.
Komitmen fee yang disepakati untuk Setyono adalah 10% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS), yakni Rp2.297.464.000 ditambah 1% untuk kelompok kerja.
Pemberian dilakukan secara bertahap. Pada 24 Agustus 2018, Muhamad Baqir mentransfer dana ke Wahyu Tri Hardianto sebesar Rp20 juta (1% untuk Pokja) sebagai tanda jadi.
Pada 4 September 2018, CV. M ditetapkan sebagai pemenang lelang dengan nilai kontrak Rp2.210.266.000.
Pada 7 September 2018, Muhamad Baqir kembali menyetorkan uang tunai kepada Setyono melalui pihak-pihak perantaranya sebesar 5% atau kurang lebih Rp115 juta. Sisa komitmen 5% lainnya akan diberikan setelah uang muka termin pertama cair.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Muhamad Baqir disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, sebagai pihak penerima Setiyono, Dwi Fitri Nurcahyo, dan Wahyu Tri Hardianto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.