Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengirimkan laporan penyelidikan proyudistia peristiwa Rumoh Geudong dan pos sattis lainnya kepada Jaksa Agung.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian M Choirul Anam mengatakan bahwa berkas dari tim adhoc penyelidikan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Aceh yang dipimpinnya, telah diserahkan ke Jaksa Agung.
Dia mengatakan peristiwa Rumoh Geudong merupakan tragedi besar yang terjadi saat status Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan mulai 1989 - 1998.
Baca Juga
Komnas HAM telah memeriksa 65 saksi kejadian tersebut. Sebagian dari saksi merupakan korban peristiwa itu. Akan tetapi dari segi jumlah korban, pihaknya tidak dapat menyebutkan angka karena tidak bisa dipastikan.
"65 bukan hanya korban, saksi statusnya dan bisa juga pihak lainnya. Karena ini daerah operasi militer, jadi komando di situ yang harus bertanggung jawab," kata dia saat Konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta Kamis (6/8/2018).
Peristiwa Rumoh Geudong dan pos sattis lainnya merupakan tragedi pelanggaran HAM berat yang terjadi saat Aceh berstatus DOM. Di dalam pelaksanaannya, pemerintah RI melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer).
Operasi tersebut menjadikan Korem 011/ Lilawangsa sebagai pusat komando lapangan. Pelaksanaan Jamer kemudian dilakukan dengan membuka pos-pos sattis -istilah pos di Koppasus- di beberapa wilayah di Aceh.
Rumoh Geudong yang berlokasi di Gampong (desa) Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie ini ditengarai paling banyak memakan korban.
Selain Rumoh Geudong, beberapa lokasi pos sattis lainnya seperti di Jimjim Gampong Ujung Leubat, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle dan Trienggadeng.
"Pos sattis memang pos yang terbuka dibuat dan diketahui oleh masyarakat Aceh waktu itu dan rentang waktu yang sangat lama. Sehingga bekas luka yang ada tidak akan bisa dilupakan oleh mereka [korban]," ujarnya.
Komnas HAM berharap pengiriman berkas tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan baik dan segera diajukan ke Pengadilan. Proses ini ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Hal ini untuk menjawab hak atas keadilqn dan ketidakberulangan peristiwa yanh sama," katanya.