Kabar24.com, JAKARTA — Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu menggarap dugaan pelanggaran administrasi dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Menurut dia, selama ini pemohon sengketa pilkada kerap mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) secara administratif. Alih-alih MK, Maruarar berpendapat persoalan tersebut merupakan ranah dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Bolehkah masuk MK? Boleh. Tapi gunakan dulu mekanisme yang ada,” katanya saat menjadi ahli dalam sidang sengketa hasil Pemilihan Wali Kota Tegal 2018 di Jakarta, Selasa (28/8/2018).
Maruarar menambahkan perkara pilkada seharusnya digarap MK bila terkait penyelenggara pemilu yang terbukti tidak melaksanakan pemilihan secara jujur dan adil. Namun, hukum acara yang berlaku saat ini mensyaratkan perkara diterima bila peserta pilkada berselisih suara sebesar 0,5%-2% dengan peraih suara terbanyak.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini mencontohkan pemohon sengketa hasil Pilwalkot Tegal 2018 berselisih 316 suara atau 0,23% dengan peraih suara terbanyak. Alih-alih mengamini ada pelanggaran dengan selisih kecil tersebut, Marurar berpendapat perbedaan suara tipis menandakan pilkada telah terlaksana sesuai konstitusi.
“Semakin kecil angkanya semakin kuat bahwa pilkada berlangsung. Konstitusi itu ukurannya betulkah ada pilkada. Kalau kecil angkanya berarti kontestasi ada,” ujarnya.
Dalam sidang tersebut, Maruarar bertindak sebagai ahli dari peraih suara terbanyak Pilwalkot Tegal 2018, Dedy Yon Supriyono-Muhamad Jumadi. Adapun, pemohon sengketa adalah Habib Ali Zaenal Abidin-Tanty Prasetyoningrum.
Pada 27 Juni, Ali-Tanty meraih 37.775 suara atau berada di bawah pasangan Dedy Yon Supriyono-Muhamad Jumadi yang meraup 38.091 suara.