Bisnis.com, JAKARTA - Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap Sjamsul Nursalim.
Taufik Mapaenre, mantan Deputi BPPN bidang Aset Management Investasi mengakui bahwa lembaga itu tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, karena tidak menemukan adanya unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
"Karena sudah diungkapkan tidak ada misrepresentasi, maka tidak ada klaim yg perlu diajukan BPPN kepada obligor. Atas dasar itulah kemudian BPPN sendiri akhirnya menerbitkan SKL kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim, katanya saat memberikan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (16/7/2018).
Masalah misrepresentasi ini yang dijadikan alasan pokok dalam memperkarakan Syafruddin Temenggung, mantan Kepala BPPN dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Taufik juga mengemukakan bahwa keputusan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) pada masa jabatan Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli tidak ada kaitannya dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS, MSAA), tapi terkait utang petambak yang ditangani Asset Management Kredit (AMK).
Saksi pun mengatakan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham tidak pernah menggunakan tagihan terhadap petambak sebagai pembayaran berdasarkan MSAA. Tim Bantuan Hukum BPPN juga tidak pernah meminta menagih Sjamsul Nursalim Rp4,8 triliun.
Baca Juga
Pernyataan Taufik tersebut juga diperkuat oleh saksi lainnya, mantan Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tahun 2002-2005 Lukita Dinarsyah Tuwo yang membenarkan ada kelebihan pembayaran sebesar US$ 1,3 juta.
"Berdasarkan laporan Financial Due Diligence Ernst & Young, hasilnya obligor membayarkan lebih nilainya US$1,3 juta," paparnya.
Terkait audit BPK 2006 yang menyatakan bahwa penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim telah sesuai, karena yang bersangkutan telah memenuhi segala kewajibannya, Taufik menegaskan bahwa SKL memang layak diberikan dan tidak perlu dipermasalahkan.
Taufik dalam kesaksiannya juga mengungkapkan mengenai pertemuan pihak Sjamsul Nursalim dengan pihak BPPN pada Oktober 2003. Pertemuan itu adalah pertemuan resmi atas permintaan Ernst & Young dalam rangka melakukan klarifikasi atas penjaminan hutang petambak oleh Dipasena dan Wachyuni.
Saksi lainnya, Dorodjatun KuntjoroJakti mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dana Industri, menyatakan bahwa kesepakatan dalam MSAA (Master Settlement and Asquisition) itu adalah perjanjian perdata. Penyelesaiannya adalah out of court settlement atau penyelesaian damai di luar pengadilan.
Seperti diketahui, Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002, pada bulan berikutnya mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk melakukan perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Hasil dari restrukturisasi tersebut, Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petani tambak yang merupakan kreditor BDNI dan sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga masih ada kewajiban obligor yang harus ditagihkan.
Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp3,7 triliun.