Bisnis.com, JAKARTA—Upaya penegakan hukum tindak korupsi pada musim kampanye pemilu kepala daerah serentak 2018 dinilai bias politik. Hal itu dinilai kontra produktif terhadap proses demokratisasi.
Menurut peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina penegakan hukum pada musim kampanye pemilu kepala daerah 2018 sering menciptakan kegaduhan dibandingkan dengan ketertiban. Hal itu, tercermin pada masa kampanye pemilihan gubernur maluku 2018.
"Pola penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan Ditreskrimsus Kepolisian Daerah (Polda) Maluku belakangan ini dinilai acap menyalahgunakan kewenangan sehingga berpotensi merusak sistem hukum," katanya dalam keterangan siaran pers, Rabu (16/05).
Dia menilai tindakan Polda Maluku itu tidak lagi sesuai dengan proses penyelidikan dan penyidikan. Aparat penegak hukum seharusnya tidak boleh menyelidiki suatu perkara tanpa adanya temuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Polisi tidak berwenang menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara karena itu merupakan kewenangan BPK.
Karena itu, tindakan penyitaan dokumen, penggeledahan serta berbagai tindakan ‘polisionil lainnya dalam sebuah kegiatan ‘penyelidikan Ditreskrimsus Polda Maluku, semisal di Sekretariat Pemerintah Daerah Buru tidak tepat dan berpotensi melawan hukum.
Baca Juga
"Terlebih tindakan tersebut dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri atau Tipikor di Ambon," ujarnya.
Menanggapi tindakan Polda Maluku itu, Almas mengatakan, pada dasarnya kepolisian memang harus independen.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali pernah mengingatkan agar aparat hukum bersikap netral pada kontestasi pemilu kepala daerah 2018.
Menurut Zainudin, pelibatan aparat hukum dalam kontestasi pemilu kepala daerah akan berdampak buruk terhadap perkembangan proses demokrasi.