Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mementahkan gugatan terhadap norma kewenangan impor garam dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam karena dianggap cacat formil.
“Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan Putusan MK No. 32/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Perkara yang diajukan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Poros Maritim Indonesia (Geomaritim) Baharudin Farawowan itu dianggap MK cacat formil. Pasalnya, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi itu tidak menjelaskan siapa yang berhak mewakili Geomaritim untuk kepentingan di dalam maupun luar pengadilan.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan AD/ART Geomaritim memberikan kewenangan kepada ketua umum, ketua tingkat provinsi, ketua tingkat kabupaten dan kota, hingga ketua tingkat kecamatan untuk meneken surat organisasi. Namun, kewenangan yang diberikan itu hanya bersifat administratif, bukan untuk mengambil tindakan hukum.
“Mahkamah perlu menegaskan setiap AD/ART organisasi harus menyatakan secara tegas siapa yang berwenang melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujarnya.
Geomaritim mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 37 ayat (3) UU 7/2016 yang mengatur bahwa impor ‘komoditas pergaraman’ lewat Menteri Perdagangan harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Rekomendasi ini terkait izin impor baik untuk garam konsumsi maupun garam industri.
Namun, pemohon merasa timbul ambivalensi sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri yang mengalihkan pemberi rekomendasi impor garam industri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ke Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Kendati PP lebih rendah statusnya dari UU 7/2016, tapi produk hukum tersebut didasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang memberikan mandat bagi Kemenperin untuk menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam bagi kepentingan industri dalam negeri. Alhasil, status UU 7/2016 sebagai rujukan kebijakan tata niaga impor garam dianggap tidak tepat.
Tabrakan dua UU tersebut kemudian melahirkan PP 9/2018 sebagai jalan keluar untuk mengatasi krisis garam industri. Namun, Geomaritim berpendapat terjadi ketidakselarasan norma bila frasa ‘komoditas pergaraman’ dalam UU 7/2016 yang menjadi kewenangan KKP meliputi seluruh jenis garam, termasuk garam industri.
“Untuk menjamin adanya harmonisasi norma dan kepastian hukum maka perlu adanya interpretasi restriktif yang bersifat membatasi komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang berdasarkan peruntukannya,” sebut pemohon dalam berkas permohonan yang diajukan pada 10 April 2018.
Sayangnya, dalil hukum DPP Geomaritim tersebut urung diperiksa oleh MK karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Organisasi yang baru dibentuk pada 28 Oktober 2017 itu harus terlebih dahulu memperbaharui AD/ART-nya.